Dalam jangka waktu dua bulan ini terjadi massifikasi konflik agraria antara warga dengan korporasi. Konflik menyebar dengan cepat, berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya. Rempang belum tuntas, meletus Seruyan hingga ada yang tewas. Mirip virus yang membawa penyakit mematikan, membuat kita ketakutan. Seolah negara tidak mampu memberi perlindungan kepada warganya.
Keadaan takut tersebut bukanlah sesuatu yang berlebihan tetapi memiliki basis materil yang berasal dari prilaku negara dalam menangani konflik agraria antara warga dan korporasi. Dalam banyak kasus, negara cenderung berpihak kepada korporasi ketimbang warga yang berjuang atas tanah. Lebih tepatnya negara memberi karpet merah korporasi, sementara warga harus berdarah-darah.
Jejak prilaku negara memprioritaskan korporasi memiliki akar historis dari pra-kemerdekaan, wabilkhsusus pada masa kekuasaan Hindia-Belanda yang dikenal dengan zaman rust en orde (keadilan dan ketertiban) pada abad 19. Takashi Shiraishi penulis buku “Zaman Bergerak” yang sedikit membahas konflik agraria menyatakan penyebab konflik agraria zaman kolonial karena negara memberi keistimewaan pada korporasi berupa penguasaan lahan yang besar. Padahal keberadaannya tidak memberi kesejahteraan signifikan bagi warga. Malahan semakin menyusutkan kehidupan mereka.
Penyusutan dalam artian penguasaan tanah yang berlebihan oleh korporasi menyebabkan warga hanya memiliki penguasaan tanah minim yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena pada masa ini, ada kewajiban bagi warga untuk menanam tanaman perusahaan demi membantu meningkatkan produksi perusahaan. Istilah populernya cultuurstelsel alias tanam paksa. Tentu kebijakan tersebut sangat eksploitatif, hanya menguntungkan korporasi dan merugikan warga.
Guna melawan kebijakan menindas, ada dua hal yang dilakukan oleh warga pada saat itu. Pertama, warga melakukan aksi sepihak dengan menyebar teror. Kedua, warga melakukan pendudukan yang dikenal dengan istilah nggogol. Biasanya dilakukan menjelang masa panen agar aspirasi cepat terakomodir oleh perusahaan dan pemerintah setempat supaya tidak mengganggu proses panen.
Kini pada era reformasi yang hampir berjarak dua abad dengan masa kolonial dan formasi sosial yang sudah sangat berbeda. Nyatanya struktur penguasaan dan kepemilikan lahan serta kebijakan agraria tidak memiliki perubahan yang signifikan. Perspektif negara dalam melihat tanah masih senafas dengan kekuasaan Kolonial Belanda – Korporasi diberikan kebebasan untuk menguasai kepemilikan lahan yang besar dan dalam jangka waktu yang lama.
Dalam catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) menyatakan bahwa 68 persen tanah dikuasai oleh 1 persen korporasi. Sementara rata-rata tingkat kepemilikan lahan di Indonesia dibawah 0,3 hektare. Artinya kepentingan privat lebih mendominasi ketimbang publik terhadap tanah.
Perbedaan yang tajam tersebut didukung oleh ekspansi bisnis korporasi secara besar-besaran pada sektor perkebunan sawit, pertambangan, dan infrastruktur yang dalam prakteknya sering menimbulkan konflik agraria karena melakukan perampasan lahan masyarakat, seperti daerah Sulawesi Tenggara, Sulawesi tengah, dan Maluku Utara yang terus terjadi protes menuntut ganti rugi, pengembalian lahan, dan pembayaran sewa tanah.
Selain menimbulkan konflik, terjadi kerusakan lingkungan yang parah akibat aktivitas korporasi pada daerah tersebut.
Sementara, kebijakan untuk melakukan perombakan struktur kepemilikan dan penguasaan tanah yang adil melalui UUPA No 5 tahun 1960 tidak pernah benar-benar serius dijalankan oleh negara. Pengabaian tersebut dapat diartiartikan sikap pasif negara terhadap masalah agraria. Karena secara subtansi, UUPA menginginkan perubahan struktur penguasaan dan kepemilikan tanah yang lebih adil.
Selain sikap pasif, negara juga turut terlibat aktif dalam menciptakan konflik agraria melalui Proyek Srategis Nasional (PSN). PSN seringkali menjadi dalih bagi negara untuk melakukan penggusuran terhadap warga yang termasuk dalam wilayah pembangunan dengan kemasan retorika pertumbuhan, kesejahteraan dan kesetaraan. Padahal lebih tepatnya, proyek tersebut hanya menguatkan hubungan rente yang terjalin antara pemerintah dan korporasi.
Salah satu perwujudan kongkritnya terlihat pada pembangunan proyek Rempang Eco City (REC) yang melibatkan penguasa lokal, pemerintah, dan perusahaan nasional maupun transnasional di Batam. Dimana pengusaha nasional diwakili oleh PT.MEG, pemerintah diwakili oleh BP Batam, perusahaan internasional diwakili oleh Xinyi yang berbasiskan di China.
Gagasan pembangunan proyek muncul setelah pemerintah melakukan beberapa kali kunjungan di China. Lalu mengeluarkan regulasi pembangunan yang terletak pada lahan tidur di bawah penguasaan PT. MEG yang selama puluhan tahun tidak terkelola. Disisi lain, lahan tersebut merupakan tanah ulayat yang dimiliki oleh masyarakat adat melayu.
Aneh, tanah adat diberikan untuk kepentingan korporasi yang mengorbankan keberadaan masyarakat adat. Mungkin perlu juga ditelusuri proses pemberian izin kepada PT.MEG, jangan sampai ada proses fraud. Kalau benar, maka perkawinan kepentingan tersebut dapat dikatakan sebagai kapitalisme kroni.
Istilah Kapitalisme kroni menggambarkan perkembangan kapitalisme lanjut pasca perang dunia pertama yang merujuk pada konsentrasi modal pada segelintir orang. Operasinya membutuhkan tangan negara untuk mengakselerasi proses akumalasi kapital. Dalam artian, para pemilik modal mendikte kebijakan negara agar pemilik kapital memiliki keleluasaan untuk melakukan ekspansi dan eksploitasi sumber daya negara-negara tujuan. Sebagaimana kata Galbraith, bahwa korporasi modern menerapkan kekuasaannya melalui pemerintahan.
Dalam kapitalisme kroni, Korporasi modern dan pemerintah menjalin hubungan yang didasarkan pada distribusi kekuasaan dan profit. Sederhananya, korporasi yang menyediakan mobil, negara yang membangun jalan tol. Negara yang menyediakan lahan, korporasi yang melakukan investasi.
Negara ditugaskan hanya mengurusi sesuatu yang sifatnya teknis atau menopang keberadaan kapital. Negara dipaksa menjauh dari sesuatu yang praksis seperti menciptakan keadilan dan kemakmuran bagi warga negara secara keseluruhan. Bahkan para korporasi tersebut tidak segan terlibat merekayasa kepemimpinan nasional dan daerah melalui distribusi modal saat pemilu/pilkada untuk tetap mempertahankan kontrol kekuasaan dan akses terhadap sumber daya.
Selain itu, dampak kelindan kepentingan antara negara dan korporasi akan membuat posisi warga lemah. Menjadi rentan untuk dieksploitasi dan termarginalkan. Dalam sektor pertanahan, keadaan tersebut biasanya menyasar rakyat yang tidak memiliki sertifikat kepemilikan tanah, tetapi hanya berbasiskan tanah ulayat. Situasi tersebut memungkinkan klaim sepihak negara maupun korporasi untuk menguasai sumber daya demi memperluas jaringan bisnis dan menambah pundi-pundi kapital. Sehingga, hal tersebut akan mendorong perluasan konflik agraria.
Untuk memuluskan rencananya, aparat keamanan sebagai representasi negara, akan mengerahkan kekuatan untuk melakukan pemindahan secara paksa dan brutal. Alhasil terjadilah pertentangan antara rakyat dan aparat yang cenderung menimbulkan korban. Secara umum, pola tersebut menjadi praktek yang digunakan oleh negara dalam menyelesaikan konflik agraria. Aparat keamanan hanya menjadi barisan pemukul bagi warga yang menuntut hak atau mempertahankan tanah.
Idealnya negara harus mengutamakan dan melindungi kepentingan mayoritas warga. Tetapi, bagi negara yang sudah terkoptasi oleh kapitalisme kroni, sulit untuk merealisasikan konsepsi ideal tersebut.
Rekomendasi Penyelesaian
Konflik agraria yang terus terjadi dari masa ke masa tidak hanya menimbulkan korban jiwa tetapi menurunkan kualitas lingkungan. Ada beberapa rekomendasi untuk mengakhiri masalah tersebut.
Pertama, mendorong negara untuk melakukan mapping lahan tidur yang dikuasai oleh korporasi, lalu mendistribusikan kepada warga yang membutuhkan tanah supaya digunakan secara produktif.
Kedua, negara memberikan alat pertanian modern dan memudahkan akses modal terhadap petani untuk mendorong produktifitas supaya dapat kompetitif serta menghasilkan kesejahteraan.
Ketiga, mekanisme pembayaran ganti rugi dan sewa lahan harus dilakukan dengan layak. Jangan karena lokasi tanah yang berada di pedesaan, daerah terpencil atau pengaruh pembangunan negara menjadikan harga pembelian atau sewa tanah sangat murah.
Keempat, negara memberikan hak kepemilikan tanah ulayat kepada masyarakat adat secara kolektif. Selain untuk upaya rekognisi dan pelestarian, ini bertujuan sebagai proteksi dari aktivitas jual-beli dan ekspansi bisnis.
Terakhir, mengedepankan dialog dan musyawarah dalam menangani konflik agraria. Zaman kolonial ada yang namanya prapat sebagai lembaga musyawarah independen dalam menengahi konflik yang berasal dari representasi pihak yang sedang konflik.