Mataram, NTB — Menjelang akhir tahun 2025, Eksekutif Wilayah Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EW LMND) Nusa Tenggara Barat menyampaikan evaluasi kritis terhadap arah kebijakan Pemerintah Provinsi NTB di bawah kepemimpinan Gubernur Iqbal–Dinda. Sejak dilantik pada Februari hingga Desember 2025, rezim Iqbal–Dinda dinilai melahirkan sejumlah kebijakan yang tidak berpihak pada kebutuhan mendasar rakyat dan cenderung memperlihatkan watak otoriter serta dominan.
EW LMND NTB memandang, jika tidak segera dievaluasi dan dikoreksi, arah kebijakan tersebut berpotensi menyeret NTB ke dalam pola pemerintahan yang semakin totaliter pada tahun-tahun mendatang.
Pergeseran Dana BTT Dinilai Menyimpang dari Regulasi
Salah satu kebijakan yang disoroti adalah pergeseran penggunaan Belanja Tidak Terduga (BTT). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, khususnya Pasal 55 ayat (1) huruf c dan ayat (4), BTT hanya dapat digunakan untuk kebutuhan mendesak, tidak terduga, dan bersifat darurat. Ketentuan ini dipertegas kembali dalam Pergub NTB Nomor 24 Tahun 2024 Pasal 13 ayat (1)–(4), yang secara eksplisit menyatakan bahwa BTT diperuntukkan bagi penanggulangan bencana.
Namun, EW LMND NTB menilai rezim Iqbal–Dinda mengakali ketentuan tersebut dengan menerbitkan Pergub Nomor 2 Tahun 2025 dan Pergub Nomor 6 Tahun 2025. Pergeseran anggaran BTT yang disepakati pada September 2025 mencapai Rp130 miliar, disusul pergeseran kedua sebesar Rp210 miliar. Dengan demikian, total penggunaan BTT mencapai Rp484 miliar dari alokasi awal Rp500 miliar.
Ironisnya, pada 2–4 Februari 2025, bencana banjir melanda Kecamatan Wera dan Ambalawi, Kabupaten Bima. Bencana tersebut mengakibatkan kerusakan parah pada sarana dan prasarana serta menimbulkan korban jiwa. Di Kecamatan Ambalawi, tercatat 253 jiwa dari 170 KK terdampak, sementara di Kecamatan Wera sebanyak 218 jiwa dari 79 KK terdampak. Tiga orang dinyatakan meninggal dunia, lima orang hilang, serta belasan jiwa dan KK terpaksa mengungsi.
Kerusakan fisik juga sangat signifikan. Di Ambalawi, terdapat 15 rumah rusak berat dan 79 rumah rusak ringan. Sementara di Wera, 13 rumah rusak berat dan 181 rumah rusak ringan. Infrastruktur publik turut terdampak, di antaranya 9 jembatan rusak berat, 2 jembatan rusak ringan, serta 7 bendungan rusak berat.
Namun demikian, EW LMND NTB menilai pemerintah provinsi tidak memaksimalkan penggunaan dana BTT untuk penanganan bencana tersebut. Sebaliknya, anggaran BTT justru dialihkan ke berbagai program non-darurat, termasuk kegiatan seperti Fornas.
Sewa Mobil Listrik Dinilai Bentuk Kapitalisasi Anggaran
Selain itu, rencana penyewaan mobil listrik untuk kendaraan dinas Pemprov NTB dengan nilai anggaran sekitar Rp14 miliar pada tahun 2026 juga menuai kritik tajam. Kebijakan ini dinilai tidak sensitif terhadap kondisi sosial-ekonomi NTB yang masih menghadapi berbagai persoalan mendasar.
Ketua EW LMND NTB, Arif Haryadin, menyatakan bahwa anggaran sebesar Rp14 miliar seharusnya dialokasikan untuk pemulihan ekonomi daerah. Ia mengingatkan bahwa ekonomi NTB sempat mengalami kontraksi sebesar 1,47 persen pada triwulan pertama 2025. Meskipun pada triwulan ketiga ekonomi NTB membaik di kisaran 2,82 persen, kondisi tersebut belum dapat dikatakan stabil sepenuhnya.
“Pemulihan ekonomi harus benar-benar dipastikan agar tidak kembali mengalami kontraksi pada 2026,” tegas Arif.
Ia juga menyoroti kondisi sektor pendidikan dan kesehatan di NTB. Sekitar 4.000 ruang kelas SMA/SMK dilaporkan mengalami kerusakan dan membutuhkan pembangunan serta rehabilitasi segera. Di sektor kesehatan, persoalan pemerataan fasilitas, akses air bersih, dan sanitasi masih menjadi pekerjaan rumah besar pemerintah daerah.
“Anggaran Rp14 miliar seharusnya digunakan untuk kebutuhan dasar rakyat, bukan justru diarahkan pada kebijakan yang berwatak kapitalisasi dan menguntungkan pihak swasta,” tambahnya.
Pemutusan 518 Honorer Dinilai Kekerasan Struktural
Kebijakan lain yang dinilai mencerminkan ketidakberpihakan rezim Iqbal–Dinda adalah pemberhentian 518 tenaga honorer di lingkungan Pemerintah Provinsi NTB. EW LMND NTB menilai, pemutusan hubungan kerja ini bukan sekadar persoalan administratif atau kepatuhan terhadap aturan pusat, melainkan bentuk nyata kekerasan struktural yang dilegalkan melalui bahasa hukum dan birokrasi.
Narasi bahwa pengangkatan PPPK paruh waktu “mengikuti keputusan pusat” dinilai sebagai upaya pengalihan tanggung jawab politik. Regulasi diposisikan seolah-olah absolut dan tidak dapat ditafsirkan ulang, padahal sejatinya hukum adalah produk relasi kuasa yang seharusnya tunduk pada kepentingan rakyat.
Lebih jauh, APBD NTB Tahun 2026 diketahui tidak mengalokasikan anggaran untuk penggajian ratusan tenaga honorer tersebut. Hal ini, menurut EW LMND NTB, menunjukkan bahwa persoalan utama bukan keterbatasan fiskal, melainkan pilihan politik. Anggaran dipahami sebagai instrumen ideologis yang menunjukkan siapa yang dilindungi dan siapa yang dikorbankan.
Pernyataan bahwa kontrak honorer “berakhir dengan sendirinya” dinilai sebagai bahasa teknokratis yang menormalisasi penghapusan masa depan 518 keluarga. Negara dianggap gagal menyediakan skema transisi kerja yang adil dan manusiawi.
Persoalan data di Badan Kepegawaian Negara (BKN) juga memperlihatkan cacat sistemik birokrasi. Honorer yang pernah mendaftar ASN namun tidak lulus, lalu dihapus dari basis data, justru menjadi korban dari kekacauan administrasi yang bukan mereka ciptakan.
“Negara menciptakan masalah, lalu menghukum rakyat sendiri atas kegagalan sistem tersebut,” tegas EW LMND NTB dalam pernyataan tertulisnya.
EW LMND NTB menegaskan akan terus mengawal dan mengkritisi kebijakan Pemerintah Provinsi NTB agar tidak semakin menjauh dari prinsip keadilan sosial, demokrasi, dan keberpihakan pada rakyat pekerja.




