Gelar Diskusi Publik, EW LMND DIY Tawarkan Konsep Pendidikan Emansipatoris

berita

Eksekutif Wilayah Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EW-LMND) Daerah Istimewa Yogyakarta Menggelar Diskusi Publik dengan tema "Kemana Arah Pendidikan Nasional?" yang bertempat di Ruang Persentasi Universitas Teknologi Digital Indonesia (UTDI), Yogyakarta.

Wakil Ketua Umum I EN LMND Claudion Kanigia Sare dalam sambutannya mengatakan pendidikan merupakan salah satu bagian strategis, bahkan utama, dalam upaya pengembangan kualitas masyarakat Indonesia. Hal ini diteguhkan dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD NRI 1945, dimana negara Indonesia harus berkomitmen dalam melindungi hak dan kewajiban rakyat Indonesia, termasuk dalam pendidikan sebagai upaya untuk mencerdaskan kehidupan dan memastikan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan adanya seperangkat sistem Pendidikan Nasional yang meliputi arah gerak, kurikulum, tata cara, serta pengaturan pendidik dan peserta didik guna memenuhi kewajiban negara sebagai upaya pencerdasan dan penyejahteraan rakyat Indonesia.

"Pendidikan Nasional harus berpacu pada nilai, norma, dan budaya yang tercantum dalam UD NRI 1945 karena konsep pendidikan di dalam UUD NRI 1945 adalah bentuk ideal dari Pendidikan Nasional. Dengan berpegang teguh pada nilai-nilai dan budaya tersebut, Pendidikan Nasional tidak akan terbawa arus globalisasi dan perkembangan teknologi, dimana kedua hal ini mendorong adanya perubahan sistem dan dinamika pendidikan, mulai dari digitalisasi pendidikan hingga perubahan kurikulum yang merujuk pada kebutuhan global," Kata Claudion.

Lebih lanjut, Claudion mengatakan bahwa kurikulum pendidikan selalu berubah mengikuti dinamika kekuasaan yang ada.

"Menyoal kurikulum pendidikan, arah Pendidikan Nasional selalu mengalami perubahan sesuai dengan dinamika politik yang terjadi pada zaman tersebut. Saat ini, Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, melalui Kurikulum Merdeka dan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) berusaha membangun sebuah ekosistem untuk menanggulangi perubahan terhadap politik pendidikan. Kurikulum dan program ini diharapkan menjadi pedoman dan dapat berjalan secara berkelanjutan, meskipun terjadi perubahan politik nasional, salah satunya akibat dari pergantian kabinet kementerian," Ungkap Claudion

Dr. L. N. Harnaningrum, S.Si., MT (Wakil Rektor Akademik Dan Kemahasiswaan UTDI) sabagai salah satu narasumber mengatakan arah pendidikan nasional sebaiknya diarahkan pada inklusivitas atau keterbukaan akses seluas-luasnya.

"Arah Pendidikan nasional sebaiknya mengacu pada bagaimana (upaya harmonisasi) antara manusia dan teknologi agar dapat beriringan bersama menuju masyarakat 5.0 (Society 5.0). Dengan hal itu upaya-upaya pencerdasan kehidupan bangsa sebagaimana dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD NRI 1945 dapat terwujud. Oleh karena itu, Konsep Pendidikan Nasional itu harus memberi kesempatan kepada seluruh masyarakat,"

Sementara Ganta Samandawai dari Aliansi Pendidikan Gratis (APATIS) mengatakan negara memiliki kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia dalam memenuhi pendidikan gratis. Bahkan, ketika neoliberalisme telah mendominasi seluruh aspek kehidupan negara.

"Tidak ada alasan (bagi) negara untuk tidak menyediakan pendidikan gratis, bahkan dalam mekanisme neoliberalisme. Neoliberalisme telah menghadirkan kompetisi pasar yang lebih luas. Dengan kata lain, pasar memerlukan calon tenaga kerja yang berkualitas. Akan tetapi, jika negara menginginkan pekerja dengan upah murah, hal itu wajar, untuk mempertahankan elit-elitnya. Sejatinya, pendidikan itu cinta dan keberanian, tetapi hal itu tidak diajarkan pada institusi pendidikan, dimana mereka hanya menghadirkan hubungan tranksaksional, Ucap Ganta Samendawai

Lebih lanjut dia menilai telah terjadi kemunduran pendidikan dari segi pembiayaan dibandingkan dengan masa Kerajaan Majapahit dan pendidikan saat ini cenderung membatasi aspirasi mahasiswa.

"anggapan fundamentalis pasar, akan mencapai titik demokratisnya saat pendidikan menjadi bagian mekanisme pasar. Namun kenyataannya, pendidikan saat ini tidak menghadirkan demokrasi sama sekali sampai di dalam kelas. Hasil risest APATIS bersama Project Multatuli, dimana hasilnya menunjukkan sebanyak 75% mahasiswa yang kesualitan akan biaya pendidikan mengalami masalah mental dan fisik. Bahkan, sebedar 45% mahasiswa jogja melalukan pinjol untuk melakukan pembayaran UKT, di sisi lain terdapat 42% mahasiswa yang terpaksa mengambil cuti kuliah karena tidak dapat membayar biaya pendidikan yang mahal. "Kita mengalami suatu kemunduran yang sangat besar, bahkan lebih jauh dari Kerajaan Majapahit. Di zaman Kerjaaan Majapahit saja pendidikannnya di biayai oleh negara (kerajaan)." Kata Ganta

sementara Bagas Damarjati dari EW LMND DIY mengatakan Laju neoliberalisme sangat sulit dihambat. Pendidikan telah menjadi korbannya dengan menjadikan institusi pendidikan sebagai salah satu instrumen pasar. Neoliberalisme juga mengacak-acak kebijakan negara; berusaha melepaskan peran negara terhadap pendidikan dan menjadikannya sebagai bagian dari mekanisme pasar. Pendidikan dalam cengkraman neoliberalisme telah melahirkan ketimpangan sosial, kemiskinan struktural, permasalahan fisik dan mental bagi pendidik serta peserta didik, dan diskriminasi terhadap akses pendidikan. Hal ini menjadikan Pendidikan Nasional saat ini telah jauh dari amanat dalam UUD NRI 1945.

“Sekolah merebut anak-anak dari setiap kelas sosial, bahakn dimulai sejak bangku taman kanak-kanak (TK). Kemudian selama beberapa tahun, yang merupakan masa di mana seorang anak sangat sedemikian rapuh, mereka terjepit di antara aparatus keluarga dan aparatus pendidikan. Sekolah memompakan sejumlah ‘Know How’ ke dalam diri mereka, dengan metode lama ataupun baru yang dikemas dalam ideologi penguasa. Hal ini menyebabkan berbagai tekanan, khususnya bagi peserta didik. Oleh karena itu, pendidikan emansipasi adalah sebuah praksis; tindakan dan refleksi manusia atas dunia untuk dapat mengubahnya. Seperti yang dijelaskan oleh Mas Ganta, 'kalau kapitalisme telah merebut banyak dari kita, pastikan imajinasi bukan salah satunya'. Dengan demikian, pendidikan berkonsep emansipasi perlu diterapkan sebagai antitesis dari Pendidikan Nasional yang telah dikapitalisasi oleh mekanisme pasar, tutup Bagas Damarjati.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *