“Nasib orang miskin tak semujur nasib anak pejabat”. Ungkapan ini mewakili perasaan anak-anak rakyat biasa yang kurang mendapatkan perhatian pemerintah dalam aspek pelayanan dan fasilitas pendidikan. Keistimewaan-keistimewaan yang didapatkan anak pejabat tak jarang menggugah rasa prihatin kita sebagai warga negara yang mestinya mendapatkan perlakuan yang sama dari negara. Bagaiman tidak, Menteri Keuangan menerbitkan aturan terkait subsidi bantuan biaya pendidikan bagi perwakilan Republik Indonesia yang bekerja di luar negeri. Bantuan Biaya Pendidikan Anak (BBPA) ini diberikan untuk anak-anak pejabat yang dinas di luar negeri dengan nilai yang sangat fantastis, yakni untuk anak sekolah dasar sebesar USD8.580 atau setara Rp127,36 juta per tahun/anak, sekolah menengah pertama USD10.940 atau setara Rp162,39 juta per tahun/anak, sekolah menengah atas USD13.560 atau setara Rp201,29 juta per tahun/anak dan perguruan tinggi sebesar USD14.840 atau setara Rp220,29 juta per tahun/anak.
Kenyataan ini berbanding terbalik dengan nasib yang dialami oleh anak-anak rakyat pada umumnya yang harus terlunta-lunta untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Banyak anak rakyat kecil yang harus berhenti sekolah akibat faktor ekonomi. Dari data Badan Pusat Statistik pada tahun 2022 mencatat angka putus sekolah di Indonesia dari semua jenjang pendidikan mengalami peningkatan. Angka putus sekolah pada jenjang sekolah dasar tahun 2022 sebesar 0,13% meningkat 0,1% dari tahun 2021 sebesar 0,12%, sekolah menengah pertama sebesar 1,6% naik 0,16% dari tahun 2021 sebesar 0,90%, sedangkan jenjang sekolah menengah atas sebesar 1,38% naik 0,26% dari tahun 2021 sebesar 1,12%. Data tersebut menunjukan semakin tinggi jenjang pendidikan maka semakin tinggi pula angka putus sekolah. Tidak hanya itu, kasus lain banyak dialami mahasiswa yang terpaksa harus berhenti kuliah akibat tidak mampu membayar uang kuliah. Selain itu ada juga mahasiswa yang kuliah sambil bekerja karena terbebani biaya pendidikan yang terus meningkat tiap tahunnya, dan tak jarang mereka harus mengorbankan kuliah dan diri.
Jika menyitir data Laporan Statisitik Pendidikan Tinggi tahun 2020 menunjukan, sebanyak 601.333 mahasiswa putus sekolah. Dari angka tersebut, Perguruan Tinggi Swasta (PTS) menyumbang angka paling banyak yakni sebesar 478.826 orang atau 79,5% mahasiswa putus kuliah. Sedangkan jumlah putus kuliah dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sebanyak 101.758 orang. Kemudian, mahasiswa putus kuliah yang berasal dari Perguruan Tinggi Agama (PTA) sebanyak 18.284 orang dan perguruan tinggi kementerian/lembaga lain sebesar 3.395 orang. Angka-angka ini sangat mengiris hati manakala melihat anak-anak pejabat yang mendapatkan kemewahan berlimpah dari pemerintah melalui kebijakan yang ada. Ini sungguh perlakuan yang tidak adil dan tidak setara kepada warga negara. Sementara dalam Undang-Undang sangat jelas bahwa pendidikan itu adalah hak setiap warga negara dan merupakan tanggung jawab negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Problematika dalam dunia pendidikan masih sangat banyak dan membutuhkan perhatian serius dari pemerintah. Khusus untuk biaya pendidikan, AIA-Finansial Indonesia mencatat rata-rata kenaikan biaya pendidikan Indonesia mencapai 20% tiap tahunnya. Sementara biaya pendidikan perguruan tinggi swasta mengalami kenaikan hingga 40%. Sedangkan dari data Badan Pusat Statistik, khusus untuk kenaikan rata-rata uang pangkal pendidikan di Indonesia mencapai 10-15% per tahunnya. Fenomena ini semakin membuat rakyat miskin akan kesulitan untuk mengakses pendidikan. Bagaimana tidak, selama Pandemi Covid-19 banyak dari mereka harus kehilangan pekerjaan dan kesusahan mencari penghidupan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Walaupun pemerintah telah mengalokasikan 20% anggaran pendidikan dari APBN, namun nyatanya hal ini belum mampu menyelesaikan persoalan pendidikan yang ada.
Potret-potret inilah kemudian yang menyakiti perasaan kita sebagai warga negara ketika pemerintah memberikan subsidi pendidikan dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi bagi anak para pejabat. Dan nominalnya pun sangat besar mencapai ratusan juta rupiah per jenjangnya. Kalaupun pemerintah ingin berbaik hati kepada para pejabat ini mestinya keistimewaan itu tidak hanya untuk mereka tetapi juga untuk seluruh masyarakat Indonesia agar adil dan merata. Sehingga kedepannya tidak ada lagi orang miskin yang putus sekolah/kuliah dan fokus menempuh pendidikan tanpa harus terbebani dengan biaya pendidikan. Dalam hal ini negara harus betul-betul hadir dalam memberikan perlindungan pendidikan kepada seluruh warga negara tanpa membeda-bedakan sebagaimana amanat yang terkandung dalam konstitusi.
Penulis : Samsudin (Wakil Ketua Umum II LMND)