Jakarta, 17 November 2025 — Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) menyampaikan apresiasi atas langkah Presiden Prabowo Subianto yang merehabilitasi dua tenaga pendidik di Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Namun LMND menegaskan bahwa langkah tersebut baru menyelesaikan persoalan di permukaan, sementara krisis guru honorer di Indonesia masih jauh dari kata selesai.
Ketua Umum LMND, Claudion Kanigia Sare, dalam pernyataan resminya menyebut rehabilitasi itu penting untuk memastikan hak dua pendidik dipulihkan, tetapi masalah yang lebih mendasar terletak pada kondisi struktural yang dialami jutaan guru honorer di seluruh Indonesia. “Akar krisis honorer terletak pada politik anggaran pendidikan yang belum memprioritaskan kesejahteraan guru,” ujarnya.
Kasus Luwu Utara menjadi contoh jelas bagaimana rapuhnya posisi tenaga pendidik honorer. Dua guru diberhentikan setelah tidak menerima gaji selama 10 bulan, sementara pihak sekolah berupaya mencari cara agar proses pembelajaran tetap berjalan. LMND mengakui bahwa pungutan tanpa dasar hukum adalah tindakan keliru, namun mengingatkan bahwa keadaan tersebut terjadi akibat sistem pendidikan yang memaksa sekolah mencari dana sendiri untuk membayar guru honorer. Ketika alokasi pendidikan tidak memadai dan mekanisme rekrutmen ASN atau PPPK berjalan sangat lambat, sekolah terjepit dalam kebutuhan untuk memastikan kegiatan belajar tidak terhenti.
Data LMND memperlihatkan bahwa kondisi guru honorer di Indonesia sangat memprihatinkan. Banyak guru menerima gaji jauh di bawah Rp1,5 juta per bulan, bahkan sebagian digaji berdasarkan jam mengajar. Status mereka tidak jelas, proses menuju PPPK berjalan lambat dan terbatas, sementara beban kerja yang mereka emban setara dengan tenaga pendidik ASN. Temuan ini sejalan dengan survei Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) pada 2024, yang mencatat 74 persen guru honorer digaji di bawah Rp2 juta, dan 20,5 persen bahkan berada di bawah Rp500 ribu per bulan.
Upah rendah dan tidak pastinya penghasilan guru honorer berakar pada cara negara mengelola tenaga pendidik sejak Reformasi. Setelah desentralisasi fiskal diberlakukan pada 1999 serta pembatasan rekrutmen ASN, banyak sekolah dan pemerintah daerah tidak memiliki kapasitas anggaran untuk menutupi kebutuhan guru. Di saat kebutuhan tenaga pendidik meningkat, negara justru menciptakan ruang bagi perekrutan guru honorer sebagai tenaga kerja murah dan fleksibel. Proses ini kemudian diperkuat oleh kebijakan tahun 2005, ketika pendidikan mulai terdorong dalam skema pasar melalui sertifikasi guru dan dana BOS. Alih-alih memperbaiki kualitas, struktur ini menciptakan stratifikasi upah dan memperluas ketergantungan negara pada tenaga honorer.
Tahun 2014, kehadiran sistem Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) menambah lapisan baru dalam struktur ketenagakerjaan pendidikan. Guru honorer diposisikan sebagai tenaga sementara, PPPK sebagai tenaga kontrak resmi, dan ASN sebagai tenaga inti birokrasi pendidikan. Bagi LMND, struktur berlapis ini menciptakan ketimpangan yang semakin mengakar, di mana jutaan guru tetap berada dalam ketidakpastian kerja meski telah mengabdi puluhan tahun.
Dalam analisis LMND, kegagalan negara dalam mengatasi krisis guru honorer semakin tampak ketika prioritas anggaran lebih condong pada program-program besar seperti Makan Bergizi (MBG). Program ini memakan biaya sangat besar, namun tidak menyentuh akar persoalan pendidikan: kesejahteraan tenaga pendidik. Dengan anggaran MBG mencapai Rp223 triliun, negara sebenarnya mampu memberikan sekitar Rp4 juta per bulan kepada 4,21 juta guru honorer, termasuk jaminan kesehatan dan tunjangan kinerja. Namun LMND menilai pemerintah memilih program yang mudah dijual secara politik daripada kebijakan fundamental yang memperbaiki nasib jutaan tenaga pendidikan.
LMND menegaskan bahwa tidak ada reformasi pendidikan yang dapat berjalan efektif tanpa penyelesaian persoalan prekarisasi guru. Selama gaji mereka tidak menentu, tanpa jaminan sosial, tanpa perlindungan hukum, dan tanpa status yang jelas, seluruh program pendidikan hanya akan menjadi slogan. Guru yang hidup dalam tekanan finansial dan ketidakpastian tidak bisa diminta untuk berkreativitas, berinovasi, atau meningkatkan kualitas pembelajaran.
Pada akhirnya, LMND menyerukan agar pemerintah segera mengambil langkah struktural dan menyeluruh. Negara harus menghapus ketergantungan pada guru honorer sebagai tenaga kerja murah, mempercepat pengangkatan PPPK secara nasional, menata ulang mekanisme pembiayaan pendidikan agar tidak lagi bergantung pada kemampuan fiskal daerah, serta memberikan jalur pengangkatan yang adil bagi guru honorer yang telah mengabdi puluhan tahun.
Tanpa keberanian politik untuk mengakhiri prekarisasi guru, LMND menilai masa depan pendidikan Indonesia akan terus terjebak dalam lingkaran ketidakpastian yang sama. Reformasi pendidikan sejati hanya mungkin terwujud jika nasib mereka yang setiap hari berdiri di depan kelas para guru honorer diangkat martabat dan kesejahteraannya.




