Pengusulan mantan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, menimbulkan polemik mendalam di tengah masyarakat. Selama 32 tahun masa pemerintahannya, rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto meninggalkan berbagai persoalan serius, mulai dari pelanggaran hak asasi manusia (HAM), praktik korupsi yang meluas, pembatasan kebebasan berpendapat, hingga penghancuran ruang-ruang demokrasi melalui kekerasan dan ancaman.
Usulan untuk merehabilitasi atau memuliakan kembali nama Soeharto tidak sejalan dengan fakta sejarah yang sarat dengan penyimpangan dan pelanggaran berat terhadap prinsip-prinsip keadilan. Langkah ini dinilai sebagai upaya “pemutihan dosa Orde Baru” serta bentuk pengabaian terhadap tuntutan keadilan atas berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh rezim tersebut. Dengan dalih penegakan hukum atau penghargaan terhadap jasa pembangunan, pemerintah justru berisiko menutup mata terhadap penderitaan korban dan kehancuran moral bangsa yang terjadi pada masa itu.
Pelanggaran HAM dan Represi Politik
Sejarah mencatat bahwa masa pemerintahan Soeharto merupakan periode penuh kekerasan dan represi. Awal kekuasaannya ditandai oleh pembantaian terhadap ratusan ribu orang yang dituduh komunis pasca peristiwa 1965. Kekerasan serupa berlanjut di berbagai wilayah seperti Timor Timur, Aceh, dan Papua. Menurut catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), beberapa peristiwa besar pelanggaran HAM yang terjadi di masa Orde Baru antara lain:
- Penembakan misterius atau Petrus (1981–1984)
- Peristiwa Tanjung Priok (1984)
- Kasus Talangsari Lampung (1989)
- DOM Papua (1969–1998)
- Penembakan warga saat pembangunan Waduk Nipah, Madura (1993)
- Penculikan aktivis dan kerusuhan Mei 1998
Selain kekerasan fisik, rezim ini juga menindas hak-hak ekonomi rakyat. Kasus perampasan tanah Kedung Ombo (1985–1989), pengambilalihan tanah adat Dongi (Sulawesi Selatan), dan penggusuran oleh perusahaan-perusahaan besar seperti PT Lonsum dan PT Kelian Equatorial Mining menjadi simbol kuat dari persekongkolan antara kekuasaan dan modal.
Korupsi dan Penyalahgunaan Kekuasaan
Korupsi menjadi fondasi ekonomi politik Orde Baru. Transparency International pada tahun 2004 menempatkan Soeharto sebagai salah satu pemimpin paling korup di dunia, dengan perkiraan kekayaan hasil korupsi mencapai 15–25 miliar dolar AS. Uang tersebut mengalir melalui berbagai yayasan pribadi seperti Yayasan Supersemar, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, dan Yayasan Trikora.
Kasus lain yang diungkap oleh TIME Asia edisi 24 Mei 1999 menunjukkan adanya dugaan transfer dana sebesar 9 miliar dolar AS dari Swiss ke Austria, hanya sebulan setelah Soeharto lengser dari jabatannya. Dugaan ini semakin memperkuat bahwa kekuasaan Orde Baru dijalankan demi memperkaya keluarga dan kroni-kroninya melalui penyalahgunaan dana publik.
Kebebasan Sipil dan Demokrasi yang Dibelenggu
Kebebasan berekspresi dan berorganisasi dibatasi ketat. Pemerintah menggunakan kebijakan represif seperti Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) tahun 1978 serta UU Nomor 5 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan untuk mengontrol kehidupan sipil. Media yang berani mengkritik pemerintah dibredel tanpa kompromi. Sistem ini menumbuhkan budaya takut dan membungkam wacana publik yang kritis.
Bahaya Pemutihan Sejarah
Jika pengusulan nama Soeharto untuk rehabilitasi atau penghormatan terus dilakukan, hal itu berpotensi besar memutihkan dosa-dosa rezim Orde Baru. Tindakan tersebut bukan hanya mengaburkan tanggung jawab moral dan hukum, tetapi juga menjadi bentuk kemunduran dari semangat reformasi yang menuntut keadilan, transparansi, serta penghapusan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Oleh karena itu, demi penegakan hukum yang sejati dan penghormatan terhadap keadilan historis, kasus-kasus yang terkait dengan Soeharto dan Orde Baru harus terus diusut, baik secara hukum, politik, maupun moral. Bangsa yang melupakan luka sejarahnya akan terus terjebak dalam siklus ketidakadilan dan penyimpangan kekuasaan.
Sumber:
https://antikorupsi.org/id/mpr-cabut-nama-soeharto-akal-bulus-negara-dalam-memutihkan-dosa-orde-baru
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160524181019-12-133186/kontras-ingatkan-daftar-dosa-soeharto




