Mengapa pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional dapat merugikan negara? Usulan memasukkan nama mantan presiden itu ke dalam daftar calon Pahlawan Nasional pada 2025 memantik reaksi keras dari organisasi hak asasi, aktivis korban, dan puluhan lembaga sipil yang menilai langkah tersebut berbahaya bagi memori kolektif dan penegakan hukum. Penolakan publik ini bukan sekadar sentimen politis; ia menunjukkan keberatan serius terhadap pesan moral yang akan dikirim negara jika gelar itu diberikan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa era Orde Baru di bawah Soeharto menghasilkan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang signifikan: inflasi turun, investasi masuk, dan angka kemiskinan merosot dalam beberapa dekade. Banyak ekonom dan laporan internasional mengakui pencapaian makroekonomi selama rezim tersebut. Namun mengakui prestasi ekonomi bukan berarti otomatis melegitimasi semua cara yang ditempuh untuk mencapainya.
Masalahnya, pertumbuhan itu terjadi di bawah pengekangan kebebasan politik dan dominasi militer terhadap kehidupan sipil. Faktor yang kini diperingatkan bisa kembali jika simbol-simbol politik lama direhabilitasi tanpa rekonsiliasi. Kembalinya penghormatan resmi kepada figur yang melekat dengan praktik otoritarianisme berisiko mengirim sinyal bahwa kontrol militer dan pengekangan kebebasan adalah harga yang bisa diterima untuk “stabilitas”. Kritik terhadap upaya ini datang bukan hanya dari akademisi, tetapi juga dari kelompok korban dan organisasi sipil.
Dari sisi hak asasi manusia, catatan masa pemerintahan itu bermasalah. Kasus Timor Timur (East Timor) adalah contoh paling tragis di mana peneliti independen dan kelompok kemanusiaan menemukan puluhan ribu kematian terkait pendudukan yang menegaskan adanya dampak kemanusiaan yang berat selama periode tersebut. Mengangkat figur yang masa kepemimpinannya terkait kekerasan massal sebagai pahlawan tanpa proses kebenaran akan mengkerdilkan penderitaan korban.
Selain itu, jaringan korupsi dan penguasaan kapital keluarga rezim telah banyak merugikan negara dan masyarakat. Dugaan penggelapan dan praktik ekonomi klientelistik meninggalkan warisan kelemahan institusi ekonomi dan ketidakadilan distribusi yang masih berpengaruh hari ini. Mengabadikan tokoh sentral rezim ini sebagai pahlawan berpotensi menutupi luka finansial dan merusak narasi anti-korupsi yang menjadi tuntutan utama era reformasi.
Di tingkat domestik, pemberian gelar pahlawan kepada figur kontroversial akan memperdalam polarisasi sosial: korban, keluarga korban, dan generasi yang mengalami represi akan merasa diabaikan; sementara kelompok yang merindukan narasi “stabilitas lama” akan merasa divalidasi. Tekanan masyarakat sipil pada 2025 menunjukkan kekhawatiran nyata atas potensi luka baru yang diciptakan oleh politik simbolik semacam ini.
Lebih jauh, ada bahaya konkret bahwa pemberian gelar ini akan mendorong lahirnya watak-watak “Soeharto baru” yang bukan secara literal meniru satu individu, tetapi berupa pola: sentralisasi kekuasaan, normalisasi intervensi militer dalam politik sipil, kultus kepemimpinan, impunitas terhadap pelanggaran, dan praktik patronase ekonomi. Penghargaan negara terhadap figur yang identik dengan pola-pola tersebut berfungsi sebagai sinyal bahwa jika negara memuji dan memberi legitimasi, aktor-aktor politik yang haus kekuasaan akan mengambil contoh itu sebagai hal yang dapat ditiru. Sejumlah studi dan analisis tentang kemunculan kembali otoritarianisme menegaskan bagaimana simbol dan narasi publik memfasilitasi reproduksi praktik otoriter.
Di kancah internasional, langkah pemberian gelar kepada tokoh yang dicurigai terkait pelanggaran HAM dapat menurunkan kredibilitas Indonesia dalam advokasi hak asasi dan kerja sama kemanusiaan. Reputasi negara yang sedang berusaha membangun kembali komitmen pada hak asasi dan supremasi hukum akan terancam jika adanya pemberian gelar pahlawan pada sosok yang tidak selaras dengan upaya-upaya kemanusiaan.
LMND menolak keras upaya memasukkan nama Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Langkah ini adalah upaya pemutihan sejarah yang menghina korban, merusak integritas reformasi, dan memberi sinyal bahwa impunitas dapat dihargai dengan kehormatan negara. Selain menghina memori publik dan korban, rehabilitasi simbolik semacam ini juga berisiko meruntuhkan kredibilitas negara di dalam negeri dan di mata dunia.
Referensi
Amnesty International Indonesia. (2025, 22 Oktober). Cabut nama Soeharto dari daftar calon Pahlawan Nasional. Amnesty.id.
Benetech / Human Rights Data Analysis Group (HRDAG). (2006). Historical estimates of the conflict-related death toll in East Timor, 1975–1999. HRDAG / Wired coverage.
Encyclopaedia Britannica. (2025). Suharto. Britannica.com.
KontraS & international civil society. (2025, 15 Mei). International joint statement: Reject the proposal to grant the title of National Hero to Soeharto and the legitimization of impunity for the New Order’s crimes. KontraS.org.
KontraS (Commission for the Disappeared and Victims of Violence). (2025, 30 Oktober). 185 lembaga dan 256 individu melalui surat terbuka desak Fadli Zon batalkan usulan gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto. KontraS.org.
Reuters. (2025, 19 Maret). Indonesia’s rights groups urge parliament not to pass military law. Reuters.
Transparency International. (1998, 24 Mei). Suharto’s family “must return looted wealth”. Transparency.org.
World Bank. (2004). Indonesia country economic report: Indonesia’s economic performance under Soeharto’s New Order. World Bank.




