Nestapa Pekerja Rumah Tangga Di Indonesia

opini

Kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) kembali terjadi. Kali ini menimpa lima orang PRT di kawasan Kalibalok, Sukarame, Bandar Lampung. Dari informasi yang beredar di media sosial dua perempuan dari lima PRT yaitu DD (15) dan DL (23) melarikan diri dan melapor kepada Polresta Bandar Lampung pada 23 Mei 2023 Pukul 01.00 WIB. Menurut pihak Kepolisian, para PRT kerap mengalami penyiksaan fisik dan intimidasi. Selain itu, mereka seringkali mendapatkan pelecehan seksual, seperti bekerja tanpa busana lalu direkam oleh majikannya. Alasan majikan melakukan perlakuan keji karena tidak merasa puas atas hasil pekerjaan ART tersebut.

77 tahun Indonesia merdeka, namun model praktek perbudakan masih kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Perlindungan segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan konstitusi bangsa dan negara masih jauh panggang dari api. Negara yang seharusnya menjadi instrumen untuk melaksanakan itu semua terkadang lalai dalam menjalankan tugasnya. Buktinya PRT terus mendapatkan kekerasan fisik dan Intimidasi saat bekerja. Sungguh yang terjadi di Lampung hanyalah satu dari banyaknya kasus yang ada.

JALA PRT sebuah organisasi yang fokus melakukan advokasi PRT, mencatat sepanjang tahun 2017-2022 terjadi 2.637 kekerasan terhadap PRT. Sementara koalisi sipil PPRT mengungkap terdapat 11 korban kekerasan setiap harinya terhadap PRT.

Sungguh miris, pekerjaan yang seharunya menjadi ladang untuk mengais rezeki demi hidup berubah menjadi nestapa. Selain mendapatkan perlakuan kekerasan, mereka juga sering mengalami keterlambatan bahkan ketiadaan pembayaran gaji. Korban di atas mengaku tidak mendapat gaji selama 3 bulan.

Mereka sangat dibutuhkan tapi seringkali diabaikan. Tenaganya dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah, tetapi hak-haknya sebagai pekerja sering diabaikan oleh majikan dan negara. Seolah mereka sedang hidup di zaman perbudakan yang tidak menghargai hak asasi manusia.

Pengaruh Kapitalisme

Data dari ILO Jakarta yang dirilis pada tahun 2015 bahwa jumlah tenaga kerja di sektor PRT sekitar 84 persen di antaranya perempuan dan sekitar 20 persen yang berumur di bawah 18 tahun. Salah satu faktor yang mempengaruhi dari banyaknya perempuan di sektor tersebut karena pakem sosial yang menganggap bahwa pekerjaan domestik merupakan domain perempuan. selain karena faktor sosiologis, stigma buruk tersebut didukung oleh fakta historis.

Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan yang terbentuk sejak lampau diteruskan oleh kapitalisme melalui pembagian kerja berbasiskan upah. Dalam menentukan besaran upah kerja tergantung ketrampilan, pengetahuan, dan tingkat kesulitan kerja. Semakin khusus ketrampilan, pengetahuan, dan tingginya kesulitan maka semakin besar upah. Begitupun sebaliknya, semakin umum ketrampilan, pengetahuan, dan mudahnya pekerjaan maka semakin kecil upah.

Dengan keadaan tersebut orang-orang akan berlomba untuk memiliki ketrampilan dan pengetahuan khusus demi mendapatkan upah yang besar sehingga tercipta kompetisi. Tetapi tidak semua orang bisa mendapatkan hal tersebut karena adanya kapitalisasi terhadap sektor pendidikan dan pelatihan. Untuk mengakses pendidikan dan pelatihan membutuhkan banyak biaya yang memaknakan hanya mereka yang memiliki uang bisa mengakses kedua hal tersebut. Keadaan tersebut dibentuk oleh kapitalisme yang secara otomatis menghasilkan ketimpangan kerja dan sosial.

Negara tidak dapat berbuat banyak dengan keadaan di atas. Dalam sistem kapitalisme peran negara dibuat seminimal mungkin, termasuk dalam urusan sektor-sektor strategis seperti pendidikan. Hampir semua urusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak diserahkan kepada pasar bebas yang dianggap lebih mumpunyai kemampuan dalam mengatur kehidupan. Peran negara hanya terbatas dalam urusan tertentu, misalnya menyediakan tenaga kerja murah demi kebutuhan dunia kerja, usaha, dan industri. Makanya tidak perlu heran kalau dunia kerja kita mayoritas diisi oleh pekerja yang memiliki ketrampilan rendah.

Menurut World Talent Ranking pada tahun 2018, skor Indonesia 51,3 dan menempati peringkat 45 dari 63 negara yang diteliti. Laporan ini menilai daya saing tenaga kerja dari beberapa faktor. Pertama, investasi dan pengembangan tenaga kerja (pengeluaran untuk pendidikan, program magang, dan pelatihan ketrampilan). Kedua, penarik tenaga kerja (biaya hidup, motivasi bekerja, dan kualitas hidup. Ketiga, kesiapan tenaga kerja (pertumbuhan kuantitas dan kualitas tenaga kerja serta link and match antara pendidikan dan industri). Sementara APBN kita hanya fokus terhadap belanja pembangunan infrastruktur, pertahanan dan keamanan.

Disisi lain, dunia sedang mengalami disrupsi teknologi yang mengguncang segala sektor kehidupan. Pesatnya laju teknologi sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang terus-menerus mengalami pembaruan. Hal ini tentunya menuntut ketrampilan dan pengetahuan baru bagi tenaga produktif agar tetap kompetitif dalam dunia kerja.

Berhadapan dengan situasi di atas, nasib PRT semakin memprihatinkan dan tidak pasti. Cepatnya laju perkembangan zaman membuat mereka lebih rentan terhadap tindakan kekerasan dan eksploitasi serta terancam kehilangan pekerjaan. Sementara dari beberapa diantara mereka menjadikan profesinya sebagai sumber pendapatan utama atau tambalan bagi pendapatan keluarga.

RUU PPRT

Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU-PPRT) diusulkan sejak tahun 2004. Berdasarkan itu, 19 tahun lamanya nasib PRT diabaikan oleh negara. Mereka mengalami kekerasan, eksploitasi kerja, pembayaran gaji tertunda, upah rendah, hingga pelecahan seksual.

Sementara kita tahu bahwa salah satu inspirasi konsep kemanusiaan Bung Karno berasal dari dapur PRT. Kisah ini diutarakan oleh Bung besar saat bercakap dengan Sarinah yang tertulis dalam buku ‘Penyambung Lidah Rakyat” karya Cindy Adams. Sarinah sebagai PRT mendorong Bung Karno untuk mengutamakan cinta kasih terhadap Ibu dan rakyatnya. Sayangnya perkembangan nasib dan peran PRT menjadi subordinat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kini, PRT bisa sedikit bernafas lega. Keberadaannya sebagai pekerja sebentar lagi diakui oleh negara. Perjuangan panjang agar menjadikan RUU sebagai UU telah menemui titik terang. DPR telah menjadikan RUU tersebut sebagai prioritas. Walaupun masih ada tahapan-tahapan yang akan dilewati sampai sah menjadi UU, setidaknya sudah ada langkah kongkrit dari negara untuk  mengakui, melindungi, dan meningkarkan kualitas hidup PRT.

Sebenarnya kita sangat terlambat untuk merealisasikan regulasi mengenai profesi PRT. Negara ini tertinggal dari beberapa negara Afrika yang lebih dulu memiliki payung hukum bagi PRT. Sementara kita tahu bahwa di sana sedang dihimpit oleh perang saudara yang tak berkesudahan, namun tetap memperhatikan nasib pekerjanya.

Dorongan pengesahan RUU PRT harus terus digalakkan, mengingat terdapat 11 kasus kekerasan yang terjadi setiap harinya kepada PRT. Selain itu, di dalam pokok-pokok pikiran UU tersebut membatasi umur pekerja rumah tangga yang sebelumnya tidak memiliki batas ditegaskan menjadi 18 tahun. Keputusan tersebut merupakan sebuah terobosan maju untuk menata kehidupan anak agar mengutamakan pendidikan ketimbang bekerja, karena pendidikan merupakan gerbang untuk merubah keadaan menjadi lebih baik. Lebih jauh, pengesahan UU tersebut akan mengikis ketimpangan dan menciptakan keadilan sosial.

Apalagi selama ini PRT tidak memiliki kejelasan nasib karena tidak ada payung hukum yang mengatur definisi, relasi kerja, sistem kerja, jam kerja, jaminan dan tunjangan kerja bagi PRT. Sehingga mereka rentan untuk menerima perlakukan sewenang-wenang oleh pemberi kerja. Dengan disahkannya RUU PRT menjadi UU, maka akan menjadi babak baru bagi perjalanan hidup PRT.

Penulis : Hadriawati

Editor  : Odedia

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *