Oleh Adri Fadli Ketua LMND Sulsel,
Sekali lagi, tanah menjadi sumber ketegangan antara negara dan rakyatnya. Dua lokasi yang terpisah ratusan kilometer, Desa Rampoang di Luwu Utara dan Desa Rancapinang di Pandeglang, kini menyisakan pertanyaan yang sama: sampai kapan negara akan membiarkan dokumen bermasalah menjadi alasan untuk menggusur warga demi kepentingan strategis?
Di Rampoang, sertifikat hak guna bangunan yang menjadi tumpuan Pemprov Sulawesi Selatan ternyata mengarah ke koordinat yang berbeda, ratusan kilometer dari lokasi sebenarnya. Di Rancapinang, Sertifikat Hak Pakai Kementerian Pertahanan tahun 2012 diterbitkan di atas tanah yang hingga kini masih dibayar pajak buminya oleh warga, dan Ombudsman RI telah mencatat adanya maladministrasi.
Padahal, Undang-Undang Pokok Agraria 1960 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 secara tegas melindungi hak masyarakat atas tanah ulayat dan tanah garapan yang telah dikuasai secara fisik dan historis.
Kedua kasus ini bukan kejadian terpisah, melainkan gejala dari satu penyakit yang sama: pengadaan tanah untuk kepentingan umum, termasuk pertahanan, masih sering mengabaikan prinsip kehati-hatian dan verifikasi yang ketat. Akibatnya, yang muncul bukan hanya sengketa hukum, tetapi juga rasa ketidakadilan yang mendalam di kalangan masyarakat kecil.
Tidak ada yang meragukan pentingnya penguatan pertahanan negara. Di tengah dinamika geopolitik yang semakin tegang, keberadaan satuan teritorial dan fasilitas latihan adalah kebutuhan nyata. Namun, kebutuhan itu tidak boleh dijadikan pembenar untuk melanggar prinsip negara hukum. Ketika dokumen negara sendiri salah, maka kewajiban pertama adalah memperbaiki dokumen itu, bukan memaksakan proyek fisik.
Pengalaman puluhan tahun menunjukkan bahwa proyek yang lahir dari sengketa tanah yang belum tuntas cenderung meninggalkan luka sosial yang panjang. Legitimasi institusi pertahanan di mata rakyat justru tergerus ketika warga merasa tentaranya datang bukan untuk melindungi, melainkan untuk mengambil.
Penguatan pertahanan negara adalah keniscayaan yang tidak dapat ditawar. Namun, legitimasi penguatan tersebut bergantung pada cara negara memperlakukan rakyatnya sendiri. Data terkini menunjukkan bahwa Tentara Nasional Indonesia masih menjadi lembaga dengan tingkat kepercayaan publik tertinggi: 94,2 persen menurut Litbang Kompas (Januari 2025) dan 94 persen menurut Indikator Politik Indonesia (Oktober 2025).
Kepercayaan sebesar itu merupakan aset strategis yang jauh lebih berharga daripada sebidang tanah sengketa.Aset tersebut kini terancam terkikis. Apabila proyek pertahanan terus dipaksakan di atas dokumen yang bermasalah dan tanpa penyelesaian sengketa yang tuntas, citra TNI sebagai pelindung bangsa dapat berubah menjadi simbol ketakutan bagi masyarakat kecil. Kepercayaan publik yang telah dibangun selama puluhan tahun dapat runtuh hanya karena satu keputusan yang mengabaikan rasa keadilan.
Ada jalan yang lebih bermartabat, dan sebenarnya tidak terlalu sulit:
- Menghentikan sementara aktivitas fisik di lokasi bermasalah sampai ada kepastian hukum.
- Melakukan audit dokumen dan verifikasi lapangan secara terbuka bersama BPN, pemerintah daerah, TNI, dan perwakilan warga.
- Jika terbukti ada kekeliruan, negara harus berbesar hati mencari lokasi alternatif atau memberikan ganti rugi yang benar-benar disepakati bersama.
Negara yang kuat bukan hanya negara yang memiliki senjata canggih, tetapi juga negara yang mampu menjaga kepercayaan rakyatnya. Kepercayaan itu tidak dibangun dengan pagar kawat berduri, melainkan dengan proses yang adil, transparan, dan manusiawi.
Ketika rakyat kecil harus mempertahankan tanahnya dari negara yang seharusnya melindunginya, maka saat itulah kita semua, sebagai anak bangsa, perlu bertanya: apakah kedaulatan yang kita bangun benar-benar untuk seluruh rakyat, atau hanya untuk sebagian?
Rampoang dan Rancapinang adalah cermin. Semoga kita semua mau berkaca.




