Oleh: Muhammad Restu Al-Hidayat, Anggota Eksekutif Kota Samarinda
Pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional menimbulkan perdebatan panjang. Sebagian melihatnya sebagai tokoh pembangunan, namun sebagian lain melihatnya sebagai simbol pelanggaran HAM dan penyempitan demokrasi. Dalam konteks inilah kita perlu meninjau kembali ukuran kepahlawanan: apakah ia diukur dari keberhasilan membangun atau berdasarkan nilai moral dan keberanian untuk menegakkan keadilan?
Dikutip dari Direktoratk2krs.kemensos.go.id, Pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia, berdasarkan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2009. Soeharto sendiri memang sudah memenuhi sebagian unsur kepahlawanan berdasarkan pengertian tadi. Sekarang pertanyaannya, berarti Soeharto layak atau tidak untuk bisa diangkat sebagai Pahlawan Nasional?. Hanya dari pengertian saja tidaklah cukup. Berdasarkan UU No 20 Tahun 2009 dan Permensos Nomor 15 Tahun 2012, disebutkan bahwa seorang pahlawan nasional harus memiliki integritas moral, tidak pernah menghianati bangsa dan negara, serta memiliki semangat kebangsaan yang tinggi. Kriteria ini tidak hanya menilai seseorang hanya dari apa yang telah dicapai, tetapi juga cara ia mencapai dan mempertahankan perjuangannya. Dengan kata lain kepahlawanan tidak hanya diukur dari keberhasilan membangun bangsa secara fisik ataupun ekonomi, melainkan dari kemurnian niat, keberpihakan kepada rakyat, keteguhan moral untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan.
Namun, bagi saya, pemberian gelar pahlawan nasional tidak seharusnya diberikan kepada seseorang yang rekam jejaknya justru meninggalkan luka bagi bangsanya sen diri. Soeharto mungkin bisa membawa kestabilan dan pertumbuhan ekonomi di awal pemerintahannya. Tapi kekuasaan soeharto pun lahir bukan dari mandat rakyat, melainkan serangkaian manuver politik yang terjadi setelah peristiwa G30S/PKI 1965. Melalui surat perintah 11 Maret (Supersemar), Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) mengambil alih kendali militer dengan dalih mengamankan negara. Namun banyak catatan sejarah yang menunjukkan bahwa surat itu diperoleh dibawah tekanan militer terhadap Soekarno, bukan hasil penyerahan kekuasaan secara sukarela. Dalam konteks ini, sulit rasanya menyebutnya pahlawan nasional, sebab jalan menuju kekuasaan yang berlumur daran dan manipulasi tidak bisa disamakan dengan perjuangan yang lahir dari pengorbanan demi rakyat. 32 tahun masa pemerintahannya, 32 tahun pula indonesia berada didalam kegelapan. Harga yang harus dibayar adalah dengan hilangnya kebebasan sipil dan pelanggaran hak asasi manusia yang masif. Tragedi 1965, pengekangan terhadap partai oposisi, penembakan misterius (Petrus), pembungkaman pers, korupsi yang terstruktur selama masa orde baru adalah noda sejarah yang tidak bisa dihapus dengan dalih pembangunan.
Pahlawan sejati bukanlah mereka yang bisa membangun gedung tinggi atau mencatat pertumbuhan ekonomi di atas kertas. Kepahlawanan sejati lahir dari keberanian moral: keberanian untuk membela rakyat kecil, bahkan ketika keputusan itu merugikan dirinya sendiri. Keberanian moral artinya berani menentang ketidakadilan, parameternya bukan dari berapa banyak gedung yang sudah dibangun, melainkan seberapa besar ia rela berkorban untuk memastikan rakyat tidak tertindas. Seorang pahlawan mungkin tidak meninggalkan monumen megah, tapi meninggalkan teladan moral yang membuat bangsa ini punya arah. Itulah mengapa keberanian moral jauh lebih berharga daripada prestasi politik. Karena tanpa moralitas, setiap keberhasilan hanya akan menjadi alat pembenaran bagi kekuasaan yang melupakan penderitaan rakyat.
Berbeda dari tokoh-tokoh seperti Tan Malaka, KH Ahmad Dahlan, atau Ki Hajar Dewantara, perjuangan Soeharto tidak lahir dari pengorbanan pribadi demi rakyat, melainkan dari konsolidasi kekuasaan yang justru menindas rakyat. Tan Malaka berjuang melawan penjajahan tanpa kekuatan politik, bahkan hidupnya dihabiskan dalam pengasingan dan berakhir di peluru bangsanya sendiri. KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah dengan semangat moral dan pendidikan, bukan kekuasaan. Sementara Ki Hajar Dewantara menentang kolonialisme melalui jalur pendidikan dan kebudayaan, dengan risiko penjara dan pengasingan. Mereka bertiga tidak berjuang demi kekuasaan, tetapi demi martabat manusia dan kemerdekaan Berfikir.
Tanda jasa tidak selalu lahir dari sistem yang adil. Dalam banyak kasus, sejarah ditulis oleh mereka yang berkuasa dan dari sanalah lahir penentuan siapa yang disebut pahlawan dan siapa yang dicap pengkhianat. Kekuasaan memiliki kemampuan untuk membentuk memori kolektif bangsa, menyeleksi siapa yang layak dipuji, dan siapa yang harus dilupakan. Maka, tanda jasa kadang bukan lagi cerminan perjuangan moral, melainkan hasil dari narasi yang dikendalikan oleh penguasa. Dalam konteks Soeharto, banyak prestasi yang dipuja hari ini sesungguhnya lahir bukan dari perjuangan moral yang murni, melainkan dari konsolidasi kekuasaan yang represif. Selama tiga dasawarsa Orde Baru, Soeharto membangun citra dirinya sebagai “Bapak Pembangunan,” sementara kritik dan perlawanan terhadap pemerintah dibungkam dengan cara cara koersif. Pembangunan ekonomi memang berjalan, tetapi bersamaan dengan itu kebebasan rakyat dikekang, media dikontrol, dan suara-suara yang berbeda dianggap ancaman bagi stabilitas nasional. Di bawah sistem seperti itu, tanda jasa menjadi alat legitimasi, bukan penghargaan sejati atas perjuangan kemanusiaan. Ia berfungsi untuk memperkuat kekuasaan, bukan untuk mengenang pengorbanan. Karena itu, ketika kita berbicara tentang kepahlawanan, kita perlu bertanya ulang: apakah tanda jasa mencerminkan keberanian moral, atau hanya hasil dari politik pencitraan yang menutupi luka sejarah?
Pengangkatan Soeharto menjadi pahlawan nasional juga dapat dibaca sebagai Politik Memori, yaitu usaha negara untuk membentuk kembali cara masyarakat mengingat masa lalu. Dilansi dari Liputan6.com, Fadli Zon menjelaskan kalau jasa-jasa dan perjuangan Soeharto baik saat menjadi presiden maupun tentara sudah memenuhi syarat mendapat gelar pahlawan nasional. jasa-jasanya yang dimaksud antara lain adalah peran Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret, Pembebasa Irian Barat, serta pembangunan ekonomi nasional. Pernyataan semacam ini menunjukkan bagaimana narasi kepahlawanan bisa di reduksi menjadi sekadar pemenuhan syarat administratif, bukan refleksi moral. Pernyataan Fadli Zon, yang ironisnya dulu dikenal sebagai aktivis Reformasi, justru menandai bagaimana politik memori bekerja: ingatan tentang masa lalu bisa bergeser sesuai kepentingan kekuasaan hari ini. Pergeseran narasi ini bukan sekadar soal penilaian terhadap individu Soeharto, melainkan refleksi dari upaya negara untuk menormalkan kembali masa Orde Baru sebagai babak stabilitas, bukan represi.Pandangan yang hanya berfokus pada hasil pembangunan dan legalitas formal justru mengabaikan luka sejarah yang belum dipulihkan, dan negara seolah sedang menulis ulang ingatan kolektif bangsa mengubah sosok penguasa yang otoriter menjadi simbol keteladanan. Hal ini menunjukkan seolah ada upaya untuk memutihkan jejak kelam Orde Baru dan menempatkannya kembali sebagai babak “kejayaan” dalam sejarah Indonesia. Jika negara hanya menonjolkan keberhasilan pembangunan tapi tutup mata dengan sisi gelap masa pemerintahannya, maka yang lahir bukanlah penghargaan terhadap jasa, melainkan pengaburan terhadap kebenaran.
Pada akhirnya, pahlawan bukanlah mereka yang sekedar membangun gedung-gedung tinggi atau menorehkan pertumbuhan ekonomi di atas kertas, tetapi mereka yang membangun martabat manusia. Kepahlawanan sejati lahir dari keberanian moral untuk berpihak kepada rakyat kecil, bahkan ketika dunia menentangnya. Soeharto mungkin meninggalkan jejak pembangunan, tetapi juga meninggalkan bayang panjang ketakutan dan pembungkaman. Maka, ketika negara mengangkatnya menjadi pahlawan nasional, pertanyaan yang perlu kita ajukan bukan lagi “apa yang ia bangun,” melainkan “siapa yang harus membayar harganya”. Bangsa yang besar bukan bangsa yang melupakan sejarah kelamnya, melainkan yang berani menatapnya dengan jujur. Penghargaan tanpa pertanggungjawaban hanya akan menjadikan kepahlawanan kehilangan maknanya. Jika gelar pahlawan dapat diberikan pada mereka yang menindas rakyatnya sendiri, maka makna moral kepahlawanan telah tergadai di altar kekuasaan. SEJARAH BISA MENULIS BANYAK NAMA, TAPI WAKTU HANYA MENGINAT MEREKA YANG BERJUANG DENGAN NURANI. PAHLAWAN SEJATI TIDAK LAHIR DARI KEKUASAAN, TETAPI DARI KEBERANIAN UNTUK MENANTANG KEKUASAAN DEMI KEBENARAN. Dan selama bangsa ini masih menutup mata terhadap luka sejarahnya, maka gelar “pahlawan” tidak lebih dari nama kosong yang kehilangan jiwa.




