Pancasila belum benar-benar hadir dalam dunia pendidikan tinggi. Kehadirannya hanya terpampang pada tembok dalam bentuk poster berdampingan dengan foto Presiden dan Wakil Presiden yang kebijakannya terkadang bertentangan dengan pancasila. Atau menjadi salah satu nama perguruan tinggi tetapi ikut melanggengkan komersialisasi pendidikan dengan biaya yang mahal.
Timbul pertanyaan, tetapi dalam regulasi selalu menjadi rujukan. Memang benar. Hanya saja itu prasyarat supaya terlihat bahwa beleid itu berdasarkan pancasila, padahal pasal-pasalnya sangat bertentangan.
Mudah saja untuk membuktikannya. Lihat saja rumusan UU No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Di dalamnya terdapat pasal 53 yang mengatur tentang pengelolaan pendidikan melalui BHP (Badan Hukum Pendidikan) yang mendorong otonomi pendidikan dari dasar sampai perguruan tinggi. Maknanya sekolah diberikan kebebasan termasuk dalam pencarian dana yang berasal dari peserta didik. Sementara kita tahu bahwa kehidupan di Indonesia tidaklah homogen. Ada yang kuat dan lemah secara ekonomi.
Walaupun muncul kebijakan yang mengakomodir mereka yang lemah secara ekonomi seperti KIP (Kartu Indonesia Pintar) dan sistem subsidi silang UKT/BKT, nyatanya yang dianggap suluh keadilan tersebut tidak menyelesaikan persoalan. Bahkan dua resep di atas terkadang menimbulkan masalah baru. Seperti yang terjadi pada beberapa mahasiswa kampus di Sumatera Barat yang terancam putus kuliah karena tidak masuk dalam daftar penerima KIP akibat keterbatasan kuota dan ketidak-akuratan data[1]. Akhirnya berpotensi menambah angka putus sekolah dan pengangguran.
Sistem subsidi silang UKT/BKT juga belum efektif dalam menciptakan keadilan. Faktanya ada banyak mahasiswa kurang mampu malah mendapat besaran UKT dengan nominal tinggi. Kalau kita check melalui aplikasi pencarian maka berita-berita tentang masalah tersebut dengan variasi dampaknya akan bermunculan. Alih-alih mempraktekan gotong royong dari yang mampu kepada tidak mampu malah menjadi ruang menggarong.
Sebenarnya BHP telah dibatalkan pada tahun 2009 tetapi terjadi reinventing semangat otonomi melalui PTNBH (Perguruan Tinggi Negeri-Berbasis Hukum) yang mendorong kampus agar secara mandiri mengusahakan dana sehingga biaya kuliah semakin mahal yang berdampak pada rendahnya partisipasi pendidikan. Menurut data BPS, APK pada tingkat perguruan tinggi hanya 31,19 persen dari keseluruhan anak usia 19-23 tahun[2].
Setali dengan itu, biaya pendidikan tinggi naik setiap tahunnya. Menurut OJK (Otoritas Jasa Keuangan) besaran kenaikannya 10-15 persen tiap tahunnya. Berdasarkan data BPS mencatat bahwa pengeluaran rata-rata mahasiswa tertinggi yaitu 21,1 juta selama tahun ajaran 2020/2021. Berarti pada tahun ajaran 2023/2024 menjadi sebesar +/- 27,3 juta. Jika dibagi dalam sebulan rata-rata pengeluaran +/- 2,25 juta sebulan. Ini belum termasuk dengan pengeluaran untuk tempat tinggal.
Sedangkan peningkatan penghasilan masyarakat Indonesia hanya sekitar 5,3 persen pertahunnya. Anggaplah pendapatan per tahunnya +/- 72 juta yang jika dibagi dalam satu bulan menghasilkan 6 juta, berarti biaya untuk kuliah tersebut +/- 35 persen dari gaji. Itu baru untuk satu anak, bayangkan bila membiayai dua anak sekaligus. Sudah pasti mereka akan seret dalam keuangannya, bahkan yang paling ekstrem mengambil jalan pintas pinjaman.
Disaat yang sama, konsep otonomi kampus dimanfaatkan oleh pelaku bisnis yang berorientasi pada profit atau komersil. Baru-baru ini Mendikbudristekdikti mengancam akan mencabut izin operasional 18 kampus swasta. Alasannya terjadi praktek pembelajaran fiktif, jual beli ijazah, dan penyimpangan beasiswa KIP. Inilah konsekuensi komersialisasi pendidikan yang mereduksi pendidikan hanya sebagai komoditi semata tanpa peduli dengan peran pendidikan yang sangat komprehensif bagi individu, bangsa, dan negara.
Dalam pandangan Ki Hadjar, “pendidikan (opveoding) merupakan sesuatu yang luas dan esensial. Pendidikan bermaksud menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada manusia, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya”[3].
Ki Hadjar sebagai pendidik sudah menggariskan esensi pendidikan. Tetapi malah dikhianati oleh beberapa tenaga pendidikan tinggi yang hanya menjadikan pendidikan sebagai lahan memperkaya diri. Tahun ini saja sudah ada beberapa pimpinan Universitas yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Menurut lembaga anti rasuah bahwa penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri menjadi ruang prilaku koruptif tersebut. Keadaan tersebut sesuatu yang inheren dalam otonomi kampus.
Selain itu, terjadi perundungan, kekerasan dan pelecehan seksual di dalam kampus. Inipun jika kita search di laman pencarian, maka akan berderet tampilan tentang kasus-kasus tersebut. Itu belum termasuk korban yang enggan bersuara karena trauma dan takut.
Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi tempat penempaan ideologi pencasila pada generasi bangsa, malah dipreteli menjadi tempat tumbuh suburnya kejahatan.
Menghadirkan Pancasila
Sekarang muncul pertanyaan, bagaimana menghadirkan pancasila dalam perguruan tinggi ?
Pertama, Pancasila harus menjadi landasan bagi penyelenggaran pendidikan tinggi terutama soal akses. Ruang pendidikan harus dibuka selebar-lebarnya dan seadil-adilnya. Biaya tidak boleh menjadi tembok besar penghalang bagi warga negara yang ingin mendapatkan pendidikan. Dulu saat orde lama biaya tidak terlalu menjadi prioritas dan hanya diperuntukkan bagi mereka yang mampu saja.
Tetapi mungkinkah menyelenggarakan pendidikan tinggi dengan sedikit modal. Memang harus diakui realitas penyelenggaraan pendidikan tinggi hari ini membutuhkan modal yang begitu besar. Tanpa anggaran maka akan sulit untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi terutama yang gratis dan berkualitas.
Kalau negara mau bisa dengan memulai realokasi anggaran pendidikan untuk pembayaran selama satu tahun. Anggaran pendidikan kita tahun 2023 sebesar 612, 2 triliun. Sementara populasi mahasiswa Perguruan Tinggi tahun 2023 sebanyak 9,3 juta orang. Jika dirata-ratakan tiap orang membutuhkan 27 juta untuk satu tahun ajaran maka hasilnya sebesar 251,1 triliun.
Pengeluarannya hampir setengah dari anggaran keseluruhan. Itupun angka tersebut mengacu pada biaya kuliah tertinggi pada daerah di Indonesia yang mengakumulasikan semua kebutuhan kuliah mahasiswa. Akan berkurang angkanya kalau hitungannya hanya biaya pembayaran SPP/BPP atau UKT/BKT. untuk mengatasi perbedaan, baiknya pemerintah juga mengeluarkan keseragaman biaya SPP/BPP atau UKT/BKT untuk semua daerah.
Karena akan sulit menyemai nilai pancasila pada perguruan tinggi, sementara masih melembagakan praktek ketidakadilan. Orang enggan akan bersatu kalau belum memiliki kesetaraan terhadap akses dan kesempatan.
Kedua, tingkatkan kesejahteraan tenaga pendidik. Kalau anggaran pendidikan dari APBN tidak mencukupi, maka sita harta koruptor dan pejabat kaya, apalagi mereka yang suka flexing hasil kejahatan.
Tanggung jawab dosen sangat sentral dalam perkembangan generasi bangsa. Mereka dituntut untuk terus berinovasi, meneliti, dan menghasilkan karya ilmiah yang membutuhkan biaya besar sementara pendapatannya kurang cukup untuk memenuhi semuanya. Sehingga terkadang menerima orderan dari pihak lain yang relatif bertentangan dengan prinsip pendidik dan menganggu tugas dan tanggung-jawabnya. Ini juga untuk menghindari prilaku koruptif dalam lingkungan akademik.
Ketiga, ciptakan pemerataan tenaga pengajar di Perguruan Tinggi. Sudah menjadi rahasia umum kalau terjadi ketimpangan dosen dan guru besar di Indonesia yang berpengaruh terhadap kualitas perguruan tinggi. Apalagi dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat berpotensi untuk memperlebar ketimpangan tersebut.
Terakhir, kurikulum pendidikan harus bersemangatkan Pancasila. Selain tenaga pendidik, kurikulum juga menjadi sentral dalam penyelenggaraan pendidikan. Karena di dalamnya mengatur tentang seperangkat rencana, isi, dan bahan ajaran yang dipedomani dalam aktivitas belajar mengajar. Artinya sebagai instrumen pembentukkan sikap/karakter, ketrampilan, dan pengetahuan inidvidu generasi masa depan bangsa.
Dengan menghadirkan pancasila secara konsekuen, kita tidak lagi ragu bahwa bangsa ini akan diisi oleh mereka yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan (toleransi), persatuan, demokrasi dan keadilan sosial dengan gotong-royong.
Penulis : Muhammad Arifin Ode (Wakil sekjend Ideologi).
Referensi :
[1]
[2]
[3]
Yudi, L. 2020, Pendidikan Yang Berkebudayaan : Histori, Konsepsi, dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama