Aksi kekerasan viral di media masa beberapa waktu lalu, perundungan itu dilakukan senior kepada junior di Universitas Muhammadiyah (UNISMUH) Makassar. Kejadian ini memperpanjang deretan kasus kekerasan dalam dunia pendidikan. Nadiem mengatakan dunia pendidikan masih dibayang-bayangi tiga dosa besar yakni, Intoleransi, kekerasan seksual dan perundungan.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyampaikan catatan penting tentang kasus intoleransi sejak tahun 2014-2022 pada satuan pendidikan. Misalnya pelarangan peserta didik menggunakan hijab/kerudung terdapat 6 kasus. Sebaliknya, pemaksaan (mewajibkan peserta didik menggunakan jilbab/kerudung sebanyak 17 kasus dari 2017-2022. Diskriminasi bagi agama minoritas menjadi ketua OSIS ada 3 kasus pada 2020-2022. Kemudian pada 2022 terdapat 2 kasus mengenai kewajiban salat dhuha sehingga sejumlah peserta didik perempuan harus membuka celana dalam untuk membuktikan benar sedang haid/menstruasi.
FSGI juga menyampaikan beberapa catatan mengenai kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan. Terdapat 18 kasus pada 2021 dan 17 kasus pada 2022. Korban berjumlah 117 anak dengan rincian 16 anak laki-laki dan 101 anak perempuan. Sedangkan pelaku berjumlah 19 orang, meliputi 14 guru, 1 pemilik pesantren, 1 anak pemilik pesantren, 1 staf perpustakaan, 1 calon pendeta, dan 1 kakak kelas korban. Dari total 19 pelaku kekerasan seksual di satuan pendidikan, 73,68 persen berstatus guru.
Kemudian, untuk kasus kekerasan fisik dan pembullyan di satuan pendidikan dilakukan baik pendidik maupun peserta didik, kasus ini hingga memakan korban. Misal, kejadian di Ponpes Darussalam Gontor Ponorogo, Jawa Timur pada Agustus 2022, korban adalah salah satu santrinya. Kejadian lainnya, seorang santri disiram pertalite dan dibakar oleh kaka kelasnya saat sedang tidur, kejadian ini disalah satu Ponpes di Rembang. Kasus-kasus perundungan pada dunia pendidikan masih didominasi peserta didik terhadap peserta didik lainnya.
Deretan kasus diatas menjadi momok bagi dunia pendidikan. Pendidikan yang seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan, sebagai ruang belajar dan eksplorasi sehingga berguna dalam meningkatkan kualitasnya sebagai manusia mesti dihadapkan dengan problem pendidikan yang justru berdampak negative bagi anak. Untuk itu, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) memberikan beberapa catatan, sebagai berikut:
Pertama, peristiwa intoleran menunjukan adanya problem kebangsaan. Kasus-kasus seperti ini memicu konflik sosial yang dapat menyebabkan perpecahan bangsa. Pendidikan sebagai pionir dalam pembangunan bangsa mesti terhindar dari persoalan seperti ini, bahkan seharusnya pendidikan berlaku sebagai filter pikiran dan tindakan intoleran. Untuk itu, perlunya penguatan perspektif mengenai nasionalisme pada dunia pendidikan. Keberagaman suku, agama, ras hendaknya menjadi kekuatan bagi Indonesia. Pendiri bangsa merajut kemajemukan menggunakan pancasila. Ia bukan sekedar idiologi melainkan alat pemersatu Indonesia. Sungguh jelas, pentingnya pendidikan pancasila pada satuan pendidikan untuk menekan tindakan intoleran.
Disisi lain elit-elit politik juga hendaknya berlaku sama, menunjukan bagaimana perilaku pancasila dalam berbangsa dan negara. Kita telah memasuki tahun politik yang rentan dengan penggunaan black campaign. Belajar dari 2019 isu SARA mewarnai jalannya pemilihan umum, tindakan ini memberikan contoh yang tidak baik bagi masyarakat, termasuk peserta didik, hal ini dapat memicu anak mencontoh perilaku buruk tersebut.
Kemudian juga kurangnya partisipasi masyarakat dalam menciptakan hubungan masyarakat yang aman dan damai. Hasil pemantauan Imparsial pada 2022, terdapat 25 pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terekam oleh media. Peristiwa intoleran ini memberi contoh buruk bagi anak. Tidak boleh keliru, lingkungan masyarakat merupakan ruang belajar bagi anak selain di sekolah, anak banyak belajar tentang kehidupan sosial, belajar bermasyarakat dan bernegara yang baik. Namun dengan tindakan-tindakan intoleran seperti diatas justru dapat memicu anak-anak untuk melakukan perbuatan yang sama.
Kedua, kasus kekerasan seksual menjadikan dunia pendidikan tidak ramah anak. Problem ini hanya meninggalkan luka bagi korban, baik secara fisik maupun psikis. Perempuan sebagai kelompok rentan dalam peristiwa ini, namun tak jarang laki-laki juga menjadi korban kekerasan seksual. Kejadian seperti ini hanya memundurkan semangat pendidikan, yang harusnya menjadi alat perubahan sosial justru membawa bencana bagi peserta didik. Walaupun kini telah ada payung hukum bagi korban kekerasan seksual namun usaha yang paling baik adalah mencegahnya. Untuk itu, perlunya dorongan bagi pemerintah dalam hal ini adalah Menteri Pendidikan untuk membuat kebijakan yang sama dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia No 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus untuk setiap satuan pendidikan. Selanjutnya penting bagi setiap satuan pendidikan untuk melakukan pendidikan seks bagi peserta didik.
Ketiga, kekerasan fisik dan pembullyan adalah kejahatan, bukan jalan untuk kedisiplinan. Merujuk kasus diatas, perundungan dilakukan dengan alasan mendisiplinkan, tindakan ini tentu tidak ada korelasinya. Justru prihatin terhadap korban bullying, sebab dampaknya bagi korban sungguh besar diantaranya sebagai berikut, mengalami gangguan Kesehatan mental, keinginan untuk mengakhiri hidupnya, merasa tidak berharga sehingga berpengaruh pada kemampuan sosial emosional bahkan prestasinya di sekolah, mengalami kesulitan dalam memahami jati diri dan menarik diri dari kehidupan sosial. Pembiaran terhadap kasus-kasus seperti ini akan berdampak buruk bagi dunia pendidikan. Satuan pendidikan mesti meninggalkan cara yang kolot ini, peserta didik mestinya diajak berdialog dalam setiap proses belajarnya, termasuk mengajak anak agar disiplin. Dialog merupakan jalan keluar bukan kekerasan.
Penulis : Claudion Kanigia Sare (Wakil Ketua Umum I LMND)