Tongkonan Ka’pun Rata dengan Tanah: Hukum Positif atau Luka Peradaban?

Uncategorized
Spread the love

Oleh: Adri Fadli Ketua LMND Sulawesi Selatan

Jumat, 5 Desember 2025, menjadi hari kelam bagi masyarakat adat Toraja. Di Kelurahan Rante Kurra, Kecamatan Kurra, Kabupaten Tana Toraja, tiga rumah adat Tongkonan berusia ratusan tahun dan enam lumbung padi (alang) akhirnya rata dengan tanah. Ekskavator menggerus ukiran-ukiran suci, atap melengkung yang menjadi lambang kosmologi Alukta, serta tiang-tiang yang menyimpan memori leluhur.

Eksekusi itu dilakukan berdasarkan putusan perdata Pengadilan Negeri Makale yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun, bagi ribuan warga Toraja, yang runtuh bukan sekadar bangunan, melainkan jiwa komunitas.

Kericuhan yang mewarnai proses eksekusi, blokade jalan, lemparan batu dan petasan, siraman air cabai, pembakaran ekskavator sehari sebelumnya, hingga tembakan gas air mata yang melukai belasan orang, bukanlah sekadar ekspresi kemarahan spontan. Ia adalah jeritan kolektif atas rasa ketidakadilan yang telah berpuluh tahun terpendam.

Sengketa tanah yang menjadi akar masalah ini bermula sejak 1982, ketika sebagian lahan ulayat mulai disertifikatkan atas nama individu tanpa persetujuan komunal yang memadai. Hukum positif, yang mengutamakan bukti tertulis dan putusan pengadilan, bertemu dengan hukum adat yang mengenal tanah sebagai warisan kolektif, bukan komoditas.

Pengalaman ini bukan yang pertama. Pada Juli 2025, eksekusi serupa di Kelurahan Lion Tondok Iring berlangsung kondusif. Bedanya, kasus tersebut melibatkan pihak yang relatif terbuka terhadap dialog.

Di Tongkonan Ka’pun, upaya mediasi yang digagas DPRD Tana Toraja, Bupati, dan bahkan pertemuan tokoh adat di Jakarta pada Oktober 2025, tidak membuahkan hasil yang memadai sebelum palu eksekusi diketukkan. Ketika musyawarah adat dianggap telah “kehabisan waktu” oleh pengadilan, maka yang tersisa hanyalah aparat bersenjata dan alat berat.

Kita tidak dapat menafikan legitimasi hukum positif. Putusan yang inkrah adalah wujud kepastian hukum yang menjadi pilar negara modern. Namun, kepastian hukum tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan kepekaan budaya. Tongkonan bukan sekadar aset pribadi; ia adalah cagar budaya hidup yang dilindungi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan diakui UNESCO sebagai bagian dari warisan dunia tak benda.

Ketika sebuah bangunan berusia 300 tahun dihancurkan demi menegakkan sertifikat hak milik, negara seolah-olah mengatakan bahwa nilai administratif lebih tinggi daripada nilai peradaban.

Peristiwa ini juga mencerminkan lemahnya koordinasi antarlembaga. Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, serta Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memiliki kewenangan yang saling tumpang tindih dalam melindungi tanah ulayat dan cagar budaya. Namun, hingga detik terakhir, tidak ada satu pun intervensi yang mampu menghentikan ekskavator.

Sementara itu, Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat yang telah bertahun-tahun mangkrak di DPR sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Jokowi, hingga kini, harus segera disahkan. RUU ini bukan sekadar dokumen hukum, melainkan janji konstitusional Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.

Pengesahan RUU MHA akan memberikan payung hukum yang jelas bagi ribuan komunitas adat di Indonesia, dari Baduy hingga Arfak, dari Kajang hingga Toraja, agar tanah ulayat dan situs-situs suci mereka tidak lagi menjadi korban palu eksekusi. Presiden Prabowo, yang dalam kampanyenya menjanjikan keadilan bagi rakyat kecil dan penghormatan terhadap identitas bangsa, memiliki momentum dan legitimasi politik yang kuat untuk mendorong DPR menyelesaikan RUU ini sebelum akhir 2026.

Yang lebih memilukan, aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi penjaga terakhir ketertiban, terpaksa menjadi pelaku dari sebuah proses yang meninggalkan luka sosial mendalam. Penggunaan gas air mata dan pengamanan ribuan personel memang sesuai prosedur ketika menghadapi massa yang anarkis, tetapi ia tidak menjawab pertanyaan mendasar: mengapa situasi harus dibiarkan sampai sejauh ini?

Toraja mengajarkan kita pelajaran berharga: negara hukum tidak boleh buta adat. Penyelesaian sengketa tanah adat memerlukan pendekatan hibrida yang sudah lama diwacanakan namun lambat direalisasikan, lembaga mediasi khusus tanah adat di tingkat kabupaten, penguatan Peraturan Daerah tentang Pengakuan Masyarakat Adat, dan tentu saja pengesahan segera RUU Masyarakat Hukum Adat.

Pada akhirnya, ketika sebuah Tongkonan runtuh, yang hilang bukan hanya kayu dan ukiran, melainkan kepercayaan masyarakat adat terhadap negara. Negara yang mengaku berdasarkan Pancasila yang sila kelimanya menegaskan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, wajib membuktikan bahwa keadilan itu juga berlaku bagi mereka yang hidup di bawah atap melengkung dan tiang-tiang berukir.

Jangan biarkan Toraja, dan ribuan komunitas adat lainnya, terus menangis. Sebelum terlambat, mari kita pilih jalan musyawarah, bukan jalan ekskavator.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *