Bahaya Konsesi Tambang Bagi Perguruan Tinggi

opini
Spread the love

Rencana revisi UU mineral dan batubara (minerba) dengan tujuan memberikan konsesi tambang terhadap perguruan tinggi sebagai bagian normalisasi keterlibatan pendidikan tinggi dalam dunia bisnis (komersial) oleh negara. Kemunculan praktek komersialiasi dalam perguruan tinggi berawal dari konsepsi otonomi kampus secara ugal – ugalan melalui UU No 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi. Subtansi dari aturan tersebut memberikan kewenangan perguruan tinggi untuk mencari pendanaan selain dari pemerintah salah satunya melalui mekanisme bisnis. Dengan begitu perguruan tinggi diharapkan dapat menggandakan sumber pendapatan yang menghasilkan biaya kuliah terjangkau bagi rakyat.

Nyatanya itu hanya sekedar konsepsi, dalam tataran praktis memunculkan realitas terbalik. Akibat kewenangan itu, perguruan tinggi menetapkan biaya pendidikan dengan ugal–ugalan sehingga membuat rakyat dengan ekonomi lemah sulit menjangkau pendidikan. Upaya kemandirian dalam keuangan diterjemahkan melalui berbagai kebijakan seperti UKT-BKT & jalur mandiri. Untuk yang terakhir menjadi ruang transaksional bagi oknum civitas akademik dalam memperkaya diri sehingga mencoreng marwah institusi pendidikan tinggi.

Kita dapat menyimpulkan bahwa otonomi pendidikan tinggi melahirkan tiga konsekuensi. Pertama, menjadikan pendidikan tinggi berbiaya tinggi. Biaya tinggi menjadi salah satu tembok besar bagi rakyat untuk melanjutkan pendidikan sehingga tidak mengherankan kalau angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia sangat rendah. Kedua, perguruan tinggi sebagai tempat untuk memperkaya diri. Praktek korupsi pada perguruan tinggi menjadi sesuatu yang tak terhindarkan.

Dalam beberapa tahun belakangan muncul kasus hukum yang menjerat civitas akademika salah satunya menjadi calo jurusan prestisius melalui jalur mandiri. Tidak heran semakin tahun quota bagi mahasiswa jalur mandiri meningkat. Walaupun peningkatan quota tersebut tidak sepenuhnya sebagai ruang transaksional, namun kehadiran jalur mandiri sebagai wujud praktek bisnis dalam tubuh perguruan tinggi. Ketiga, pendidikan tinggi menjadi lahan untuk berbisnis.

Pendidikan tinggi semestinya fokus pada upaya mencerdaskan bangsa dan memecahkan kontradiksi sosial bukan malah sibuk berbisnis. Sebagaimana kita ketahui ada banyak perguruan tinggi berdiri bukan semata–mata menunaikan tugas pendidikan tetapi sebagai instrumen untuk mengumpulkan pundi–pundi kapital seperti praktek jual beli ijasah, obral gelar akademik, dll.

Kini perguruan tinggi akan mendapatkan konsesi tambang dari negara (pemerintah & DPR). Ada banyak alasan hadir untuk memuluskan kebijakan ini. Forum rektor menyatakan bahwa jika perguruan tinggi diberikan hak untuk mengurusi konsesi tambang maka akan membawa dampak positif bagi dunia pendidikan salah satunya biaya pendidikan menjadi rendah. Begitupun dengah pemerintah melalui Menteri ESDM mengatakan bahwa kebijakan (konsesi tambang) bagi perguruan tinggi sangat baik. Dua pernyataan yang berbeda namun memiliki subtansi sama yaitu normalisasi terhadap komersialisasi pendidikan tinggi. Sesungguhnya dengan fakta yang ada, perluasan bisnis perguruan tinggi tidak menjamin akan menurunkan biaya pendidikan.

Malah sejak pendidikan tinggi resmi berbisnis, biaya kuliah semakin tahun terus meningkat. Kekhawatiran kebijakan tersebut menjadi ruang korupsi baru menghantui institusi pendidikan tinggi karena sektor usaha pertambangan meniscahyakan keuntungan yang besar. Namun sebelum melihat lebih jauh ada baiknya perguruan tinggi mempertimbangkan niatnya berdasarkan realitas praktek industri pertambangan identik dengan konflik sosial dan kerusakan lingkungan. Apalagi konsesi tambang yang akan diberikan merupakan bekas lahan konsesi perusahaan swasta.

Kemungkinkan akan adanya residu konflik dengan rakyat dan masalah lingkungan di atas konsesi tersebut menjadi warisan bagi perguran tinggi. Karena ada tiga kemungkinan pengalihan konsesi. Pertama, praktek pertambangan yang buruk. Kedua, konsesi sudah tidak memiliki nilai ekonomis. Ketiga, perusahaan bangkrut. Semua alasan tersebut akan menjadi beban bagi pergruan tinggi. Jika tidak mampu menjawab ketiga alasan tentu akan memberi preseden buruk bagi keberlanjutan perguruan tinggi.

Selain itu, sektor pertambangan memiliki predikat sebagai usaha padat modal. Sebagaimana kita ketahui, sumber pendapatan terbesar perguruan tinggi berasal dari mahasiswa. Namun tidak mungkin semua dana tersebut dialokasikan untuk investasi usaha pertambangan karena ada kebutuhan operasional perguruan tinggi. Secara otomatis perguruan tinggi akan mencari dana alternatif yang berasal dari suatu pihak untuk menjadi investor. Bukan tidak mungkin investor tersebut meminta saham. Jika begitu, sia–sia konsesi diberikan karena keuntungannya tidak secara penuh menjadi milik perguruan tinggi.

Memang ada banyak skema untuk mencari pinjaman salah satunya dengan menggadaikan usaha tertentu milik perguruan tinggi. Namun akan berbahaya jika kebutuhan keuangan pengelolaan tambang dibebankan kepada mahasiswa atau mahasiswa baru. Tentu akan meningkatkan biaya pendidikan tinggi yang akan menjadi beban baru bagi rakyat.

Selain itu, konsesi tambang dapat melemahkan peran perguruan tinggi sebagai institusi penyeimbang terhadap kekuasaan. Perguruan tinggi mestinya membatasi hubungan dengan kekuasaan agar memastikan kekuasaan berjalan sebagaimana mestinya. Ketakutannya, dengan pemberian konsesi maka akan mengikis sikap kritis perguruan tinggi terhadap kebijakan pemerintah. Kemungkinan terburuknya perguruan tinggi menjadi perpanjangan tangan kekuasaan dalam lingkungan akademik terutama menjadi alat represi terhadap kebebasan mimbar akademik.

Dalam perspektif negara modern, kekuasaan beroperasi melalui intitusi–intitusi sosial budaya. Pengetahuan menjadi alat dalam memperkuat legitimasi kekuasaan. Foucoult menyebutnya sebagai govermentality. Sebuah praktek kekuasaan dalam mengontrol tubuh sosial (populasi) terutama mereka yang terikat secara individual dalam institusi tertentu agar sejalan dengan kehendak kekuasaan. Singkatnya segala sesuatu menjadi tercover sebagai government.

Konsesi tambang juga akan membawa kehidupan perguruan tinggi terjebak dalam pusaran politik praktis yang dapat menimbulkan konflik. Dengan adanya konsesi tambang semua civitas akademik akan berlomba – lomba untuk menduduki posisi tertinggi sebuah perguruan tinggi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di dalam perguruan tinggi terdapat blok–blok kekuatan saling bersaing berbasiskan identitas (tradisional maupun modern). Sehingga kehadiran konsesi tambang dapat memperuncing persaingan. Konsesi tambang akan menjadi medan baru bagi kelompok tersebut, untuk saling mengalahkan. Konsekuensi dapat menganggu proses pembelajaran yang berlangsung pada perguruan tinggi.  

Dalam perjalanan perguruan tinggi mengarungi kehidupan bisnis belum ada tranparansi terkait pendapatan mereka. Ketidakjelasan ini menghadirkan keraguan tentang kapasitas perguruan tinggi dalam mengelola bisnis pertambangan. Ketakutannya, praktek bisnis hanya menguntungkan elite kampus ataupun kelompok tertentu selama ini. Ada baiknya, pemerintah ataupun DPR melakukan evaluasi terhadap tranparansi pengelolaan anggaran perguruan tinggi agar efektifitas penggunaan anggaran dapat menurunkan biaya pendidikan tinggi sehingga meningkatkan angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia.

Konsesi tambang bukan merupakan jalan keluar bagi segala permasalahan dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Sebaiknya DPR dan Pemerintah fokus untuk membenahi masalah–masalah mendasar pendidikan tinggi, seperti akses, infrastruktur, kesejahteraan tenaga pendidik, dam pemerataan kualitas pendidikan tinggi. Pemerintah dan DPR mesti melakukan evaluasi menyeluruh terkait sistem dan praktek pendidikan tinggi.

Kekhawatirannya konsesi tambang malah menambah persoalan yang ada pada dunia pendidikan tinggi. Karena berdasarkan analisis di atas, kehadiran konsesi tambang hanya memberi dampak buruk bagi perguruan tinggi. Ditambah sudah banyak penolakan yang datang dari internal civitas akademik di Indonesia dengan berbagai pertimbangan–pertimbangan rasional.

penulis: Muhammad Arifin (Wakil Sekjend EN-LMND)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *