Sejak adanya LoI (Latter of Intent) antara IMF dan Orde Baru, desakkan restrukturisasi terhadap segala sektor terus berjalan hingga hari ini dari rezim ke rezim. Perlu kita ketahui bahwa LoI mengandung prinsip neoliberalisme seperti deregulasi, privatisasi, pengetatan anggaran dan pemotongan pajak. Dapat dipastikan bahwa kebijakan LoI merupakan manifestasi dari keberadaan neoliberalisme di Indonesia
Perlahan-lahan kebijakan tersebut menyentuh sektor pendidikan sebagai salah satu sektor vital. Kini melalui produk UU Cipta Kerja yang melakukan deregulasi terhadap berbagai peraturan yang ada, neoliberalisme untuk kesekian kalinya mewujud dalam kebijakan – Kemudahan berusaha, pasar tenaga kerja murah dan pemberian insentif bagi pengusaha, menjadi subtansi dari UU ini. Itu artinya Indonesia akan menjadi sasaran empuk eksploitasi kapital.
Sementara alasan pemerintah melahirkan UU ini, karena Indonesia mengalami obesitas regulasi. Terjadi tumpang tindih peraturan yang satu dan lainnya serta antara institusi yang satu dan lainnya. Hal ini tak senada dengan alasan Presiden Jokowi ketika mengeluarkan Perppu Cipta kerja untuk merespon ketidakpastian global walaupun menabrak keputusan MA yang memutuskan UU Cipta Kerja inkonstituional bersyarat.
Kontradiksi antara pernyataan Jokowi dengan subtansi UU Cipta Kerja menambah daftar inkonsistensi kebijakan rezim Jokowi. Parahnya, di dalam UU Cipta Kerja terdapat pasal pendidikan yang dianggap sebagai sektor berusaha. Wajar saja ini terjadi, pasalnya rezim hari ini memposisikan diri sebagai pelayan investasi. Menjadikan negara hanya sebagai pembentang karpet merah bagi investor.
Keadaan di atas membuat kita menarik kesimpulan bahwa rezim berpihak terhadap kepentingan investor bukan pada kepentingan rakyat banyak. Pemerintah percaya dengan diberikannya kemudahan berusaha, insentif, dan tersedianya tenaga kerja murah akan membuat investasi mengalir deras masuk ke Indonesia sehingga terjadi pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Tindakan tersebut sama saja dengan mengobral murah sumber daya alam dan manusia yang ada.
Padahal tidak perlu ugal-ugalan seperti itu, mestinya Jokowi membenahi sektor pendidikan sebagai kawah candradimuka sumber daya manusia untuk memanfaatkan sumber daya alam. Kita bukannya anti investasi, tapi bukankah dengan mempersiapkan dan mengolah sumber daya sendiri lebih menawarkan harapan tentang masa depan yang baik. Sebenarnya Soekarno sudah mewanti-wanti hal ini sejak jauh hari dengan adagiumnya :
“Biarkan kekayaan alam kita tetap tersimpan di perut bumi hingga unsur-unsur Indonesia mampu mengolahnya sendiri”
Sayang pendidikan kita saat ini sedang dikoyak-koyak privatisasi sebagai konsekuensi dijadikan salah satu sektor usaha dalam UU Cipta kerja. Pendidikan tidak lagi dianggap sebagai sektor yang terpisah dari dunia usaha, tetapi dipandang organik dengan ekonomi. Secara otomatis pendidikan tidak lagi menjadi pilar pembangunan manusia tetapi sebagai ruang untuk melakukan akumulasi kekayaan.
Sebenarnya nafsu ingin menjadikan pendidikan sebagai sektor usaha sudah ada sejak rezim-rezim sebelumnya pada era reformasi saat ini. Hanya saja urung terjadi karena mendapatkan perlawanan dari berbagai macam elemen gerakan. Tetapi nafsu tersebut terus muncul mencari cela untuk memaksakan agar pendidikan menjadi salah sektor berusaha. Reproduksi keinginan tersebut kembali mendapatkan momentumnya pada UU Cipta Kerja. Dalam UU cipta kerja pembahasan pendidikan terdapat pada pasal 65 yang berbunyi :
Ayat 1 : Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Ayat 2 : Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah.
Lebih lanjut dalam peratutan pemerintah No 5 tahun 2021 tentang perizinan berbasis resiko bagian Kedua Belas Sektor pendidikan dan Kebudayaan pasal 134 :
Ayat 1 : Pelaksanaan perizinan pada subsektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha berbasis resiko sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah ini.
Ayat 2 : Perizinan berusaha berbasis resiko untuk satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan.
Ayat 3 : Pelaksanaan perizinan pada subsektor pendidikan untuk lembaga pendidikan formal di KEK wajib melakukan melalui Perizinan Berusahan Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud dalam peraturan pemerintah ini.
Ayat 4 : Ketentuan mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan Berusaha Berbasis Risiko untuk satuan lembaga pendidikan formal di KEK di atur dalam peraturan mentri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
Ayat 5 : Peraturan mentri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan setelah mendapat persetujuan presiden berdasarkan rekomendasi dari kementrian yang menyelenggarakan kordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian untuk kementrian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.
Sementara dalam PP di atas tidak memiliki kejelasan tentang pendidikan masuk kategori usaha berbasis resiko rendah, menengah atau tinggi. hal tersebut harus diketahui untuk menakar status berusaha pada sektor pendidikan. Karena untuk mendapatkan lampu hijau berusaha tergantung usaha yang akan dilakukan. Semakin rendah resikonya maka semakin mudah izin yang didapatkan, begitupun sebaliknya.
Ketiadaan kejelesan menandakan bahwa pemerintah memang membuka ruang selebar-lebarnya bagi para investor. Apalagi dalam PP di atas menjelaskan bahwa pemerintah pusat memiliki kewenangan penuh untuk melakukan pemberian izin dan mengatur pemanfaatan area berusaha ketika pemerintah daerah belum memberikan penetapan zonasi berusahanya. Tindakan pemerintah sangat mirip ketika Deng Xiaoping pertama kali memutuskan menganut neoliberalisme.
Deng Xiaoping mengubah China dengan memanggil investor untuk melakukan ivestasi di China. Dalam buku Neoliberalisme dan Restorasi Kelas, David Harvey seorang antropolog cum geograf marxis merekam Ucapan Deng Xiaoping yang paling terkenal tentang ini “saat di sungai kita akan mencari batu untuk melompat dari batu yang satu ke yang lainnya”. Dapat diartikan bahwa China akan hidup dari satu investasi ke investasi lainnya. Sementara rakyat akan tergusur akibat keberadaan investasi dan pembangunan.
Bukankah situasi tersebut sedang terjadi di Indoenesia walaupun UU Cipta Kerja belum muncul. Fenomena penggusuran akan bertambah ketika UU tersebut berjalan. Sialnya pendidikan akan menjadi instrumen untuk melakukan tindakan dehumanisasi tersebut. Sungguh tidak adil kalau melihat semangat pendidikan kita yang memanusiakan manusia justru bertindak tidak beradab dengan ikut terlibat melakukan penindasan.
Selain itu, menjadikan pendidikan sebagai sektor berusaha berarti menyimplifikasi pendidikan semata-mata hanya sebagai kegiatan bisnis. Sementara pendidikan dan berusaha memiliki filosofi yang berbeda. Pendidikan memiliki filosofi memanusiakan-manusia sedangkan usaha merupakan upaya kegiatan untuk mendapatkan keuntungan. Diferensiasi tersebut menunjukkan adanya demarkasi yang sangat jelas.
Dunia pendidikan tidak lagi dipandang sebagai lembaga intelektual untuk mencerdaskan kehidupan bangsa namun direduksi hanya sebagai komoditi. Konsekuensinya dunia pendidikan akan semakin mahal. Karena institusi pendidikannya beroperasi untuk memaksimalkan keuntungan. Sehingga pendidikan hanya untuk mereka yang memiliki uang tetapi menutup ruang bagi mereka yang memiliki ekonomi lemah.
Sementara dalam konstitusi preambule UUD 45 secara eksplisit tertulis mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan begitu pendidikan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan bangsa ini. Menjadikan pendidikan sebagai sarana privatisasi untuk melakukan akumulasi kekayaan sama saja melakukan penghianatan terhadap konstitusi.
Menyelamatkan Pendidikan Kita
Nasib pendidikan yang menjadi sektor usaha berbasis resiko memiliki dampak yang sangat signifikan dalam dunia pendidikan. pengubahannya menjadi sektor berusaha akan menjadikan pendidikan semakin ekslusif – karena hanya menjadi ruang bagi mereka yang memiliki uang. Sementara untuk mereka yang lemah secara ekonomi hampir tidak memiliki ruang kecuali melalui jalur-jalur khusus.
Selain itu, menjadikan pendidikan sebagai sektor usaha akan semakin meruncingkan disparitas antara institusi pendidikan negeri dan swasta. Belum lagi dengan hadirnya institusi asing yang memiliki modal lebih besar dalam membangun institusi pendidikan akan semakin mengetatkan kompetisi dalam dunia pendidikan. Hal tersebut pasti terjadi, karena UU cipta kerja sangat membuka ruang terhadap investasi baik itu yang datang dari luar ataupun dalam negeri.
Sebelum berjalan terlalu jauh, pendidikan yang berorientasi pragmatis harus mendapatkan perhatian serius dari semua kalangan. Pendidikan yang hanya mencari keuntungan pribadi mirip dengan model pendidikan ala kolonial pada zaman Hindia-Belanda. Dimana pendidikan hanya mengabdi terhadap kepentingan modal. Sehingga peserta didik hanya diajarkan pengetahuan dan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri atau dunia usaha.
Disisi lain, kita punya model pendidikan yang memanusiakan manusia. Dulu saat pemerintahan masa orde lama, pendidikan bergaya kolonial dibuang jauh-jauh tampa ampas tersisa. Para bapak bangsa kita sangat sadar bahwa peran pendidikan sangat penting bagi kehidupan dan mengabdi terhadap kehdiupan. Makanya saat merumuskan dasar-dasar pendidikan dan pengajaran, nilai-nilai yang dehumanis, sangat erat kaitannya dengan pendidikan kolonial yang menindas tidak diakomodir.
Bayangkan bangsa yang baru saja merdeka berani bertaruh dengan melakukan terobosan progresif dalam dunia pendidikan. kita perlu meniru sikap berani mereka yang keluar dari tempurung kolonialisme selama ratusan tahun menjajah. Mengusung konsep pendidikan yang sesuai dengan napas kehidupan kebangsaan sendiri. Padahal kalau mereka mau bisa saja menggunakan kekuasaannya sebagai privilage untuk memperkaya diri pribadi. Tapi bapak bangsa kita bukanlah sosok yang seperti itu, mereka rela untuk mengabdikan pikiran dan tenaga demi kemajuan bangsa.
Sayangnya perangai bapak bangsa kita sulit kita temukan pada pejabat pendidikan kita saat ini. Malahan yang ada berlaku sebaliknya – memperkaya diri sendiri. Buktinya saja sudah banyak pimpinan Universitas yang ditangkap karena terlibat kasus korupsi dana pendidikan. ini jelas pukulan telak bagi dunia pendidikan. Begitulah model pendidikan yang dikawinkan dengan dunia usaha, yang ada hanya menjadi ruang penumpukan kekayaan bagi segelintir orang.
Untuk menghentikan kejadian seperti itu berulang, perlu melakukan refleksi terhadap dunia pendidikan. Secara umum, Pertama, kita perlu melakukan pembahasan ulang terhadap sistem pendidikan nasional. Terutama membatasi keterlibatan kepentingan bisnis dalam dunia pendidikan. Kedua, melakukan realokasi terhadap anggaran pendidikan. Nyatanya selama belasan tahun anggaran 20% pendididkan dari APBN tidak mampu menjawab permasalahan dunia pendidikan. ketiga, perlu mempertimbangkan kesejahteraan tenaga pengajar untuk menjaga kualitas pengajaran.
Terakhir, walaupun sudah menjalankan ketiga hal di atas akan menjadi sia-sia kalau ideologi pendidikan kita masih sepenuhnya mengabdi terhadap kepentigan pasar bebas yang menghidupi neoliberalisme. Neoliberalisme menjadi benalu dalam dunia pendidikan kita selama puluhan tahun. Mengubah orientasi pendidikan yang sejatinya memanusiakan-manusia menjadi eksploitasi manusia dan alam. Untuk itu, segala hal yang berhubungan dengan neoliberalisme dalam dunia pendidikan, harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan.
Muhammad Arifin Ode (Wakil Sekjen Ideologi LMND)